Mengapa Amerika? bagian 3-being a Monarch
Being a Monarch
"Kapan berangkat ke Amerikanya?" tanya
salah satu kolega di kampus.
"In sya Allah pertengahan Agustus ini
pak." jawabku sambil tersenyum karena senang akhirnya tanggal
keberangkatanku ditetapkan oleh Dikti.
"Sukses pak ya, jadinya di kampus
apa?" lanjutnya.
"Di Old Dominion University,
pak."
"Old apa?"
"Old Dominion University atau ODU, di
Virginia."
"Virginia State University ya?"
"Bukan, ini kampusnya di kota Norfolk, ya
masih satu negara bagian tapi kampus saya di daerah pantainya."
"Okay, sekali lagi sukses dan selamat jalan
ya pak."
"aamiin, makasih pak."
Dialog itu menjadi dialog tipikal yang sering
terjadi sebelum saya berangkat melanjutkan studi S3. Selalu ditanya kapan
berangkatnya, padahal di dalam hati saya masih dag dig dug karena tersandung
masalah administrasi dengan Dikti. Hal yang menarik berikutnya adalah terkait
pilihan kampusnya. ODU yang juga dikenal dengan sebutan the Monarchs untuk tim footballnya
bukan kampus terkenal khususnya bagi khalayak di Indonesia. Meskipun sebenarnya
kampusku dulunya merupakan cabang dari sebuah College tertua kedua di
Amerika. Usianya yang masih muda sejak mandiri belum memungkinkan kampus ini
dinilai setara dengan kampus besar lainnya.
"Saya mau ambil UPenn mas, karena
disana studi komunikasinya nomer satu," kata seorang teman yang
lain,"kalau yang di Old apa...ini memang bagus ya HInya?"
"Ya lumayanlah, cuma kampusnya strategis
dekat dengan beberapa institusi internasional seperti markasnya CIA, NATO dan
juga dekat Washington." kataku sekenanya,"bahkan disini pangkalan
laut terbesar di dunia."
Waktu menyusun daftar kampus dalam aplikasi Fulbright, saya memang masukkan beberapa kampus yang kalibernya
nomer satu di bidang Hubungan Internasional (HI). Tetapi Allah berkehendak lain, akhirnya hanya dua pilihan
yang lolos dan ODU adalah salah satunya.
Awalnya saya ragu, karena ODU di nomer terakhir
daftar pilihan saya. Inipun bukan inisiatif saya. Pihak Fulbright lah yang
memberi saran untuk memilih kampus ini dan saya iyakan saja. Saya masukkan ke nomer terakhir karena
pertama, kampusnya tidak terlalu terkenal dan bahkan tidak ada rankingnya menurut USNews.
Yang kedua, karena terletak di daerah yang rawan kejahatan. Beberapa kali saya browsing di internet untuk lebih mengenal kampus ini, pasti
kejadian kriminalitas yang muncul di daftar teratas google.
Kampus yang satunya termasuk yang terkenal bagi
para pelajar politik di Indonesia. Bisa dikatakan kampus asal dari para mafia pengamat politik atau survey politik di Indonesia. Akan tetapi, karena kebetulan tahun itu konsentrasi
HI di kampus tersebut sedang ditutup karena tidak ada profesornya, saya diminta untuk pindah ke Comparative Politics.
Dalam kondisi inilah akhirnya saya memutuskan
ambil ODU, karena ada departemen International Studies yang
lebih sesuai dengan minat saya.
"Bu, gak pa pa nih kampusnya kayaknya gak
begitu bagus?" keluh saya,"Lagian kayaknya kotanya nggak aman."
"Gak pa pa mas, jangan dilihat yang jeleknya
saja," sambut istri saya menenangkan, "Tetap bersyukur, Allah lebih
tahu yang terbaik bagi kita."
Istriku memang pandai untuk selalu mengajariku
bersyukur. Dan memang sering kali dia benar untuk hal-hal
seperti ini. Hampir sebulan kuliah kujalani di ODU dan rasa nyaman dan
bahagialah yang kurasakan. Selain kemudahan hidup yang kudapatkan sebagaimana
kuceritakan sebelumnya,
kuliah yang kujalani juga berjalan luar biasa.
Kelas yang kuikuti tidak terlalu besar volumenya, meski
peserta program master dan PhD digabung. Dosen-dosennya pun sangat bagus dalam
pengajarannya. Akan tetapi yang paling menarik justru mengenai karakter rekan-rekan saya sesama
mahasiswa. Ini salah satu keuntungan kuliah di kampus negeri yang relatif tidak
terlalu terkenal (dan tidak mahal).
Teman-teman saya sangatlah beragam; ada yang baru
lulus bachelor dan lanjut ke master, ada yang sudah bekerja beberapa
tahun kemudian mengambil master lagi, ada yang pensiun dari dinas militer dan
memilih untuk mengisi waktu pensiunnya dengan mengambil doktor, ada pengajar di
institusi militer yang harus lanjut studi demi syarat kualifikasi mengajarnya,
ada anggota militer aktif, ada ibu rumah tangga yang nyambi kuliah, dan
beberapa mahasiswa internasional seperti saya.
Keragaman seperti ini menjadi menarik apalagi
ketika berdiskusi terkait isu internasional. Apalagi ketika banyak dari mahasiswanya
tidak berlatar belakang pendidikan HI. Kita mendapatkan perspektif yang sangat
beragam. Misalnya ketika berbicara tentang RRC, ada yang sangat pro perdamaian melihatnya sebagai bukan ancanman, ada yang justru sebaliknya sangat military-minded. Menarik..
Selain itu, ada hal yang lebih fundamental yang
saya rasakan disini, yaitu semangat belajar. Sebagian memang mengambil studi
lanjut demi tujuan karier di masa depan. Pekerjaan profesionallah yang jadi
tujuannya. Akan tetapi beberapa orang kulihat bukan ini yang jadi tujuannya.
Ibu-ibu atau bisa kukatakan nenek-nenek di kelasku sangat aktif bertanya karena
baginya kuliah adalah benar-benar untuk melatih pikirannya dan mendapatkan
pengetahuan. Berdiskusi dengan orang-orang semacam inilah yang terus menjaga
niatku agar selalu lurus. Bukan uang, bukan jabatan dan pekerjaan di masa
depan, tapi ilmu. Rasulullah SAW bersabda,"Barangsiapa yang menempuh jalan
untuk menuntut ilmu, maka Allah akan mudahkan baginya jalan menuju surga."
(HR. Muslim).
Semangat mencari ilmu ini juga berpengaruh kepada
interaksi di antara kami. Bukan persaingan untuk menjadi yang terbaik, tetapi
berbagi. Belajar kelompok menjadi keseharian kami. Bahkan kegiatan di luar
kelas menjadi hal yang sinergis. Menghadiri klub-klub di rumah makan untuk
berdiskusi terkait kebijakan Homeland Security misalnya kita ikuti
dengan semangat yang sama, meski tidak ada pengaruh ke IPK. Alhamdulillah, saya
menemukan komunitas pembelajar disini. In sya Allah disini saya bukan saja
belajar mengasah pikiranku dengan pengetahuan, tetapi juga ODU menjadi tempat
bagiku untuk building a self, membangun diri secara lebih utuh dan
berkontribusi kepada masyarakat luas. Mungkin terlalu prematur untuk menilai,
tetapi hal inilah yang kurasakan dalam sebulan terakhir ini.
Saya merasa tidak menyesal kuliah di kampus ini.
Saya juga tidak menyesal tidak diterima di kampus-kampus Ivy league yang
tercantum di nomer pertama dan kedua daftar pilihan saya. Apalagi ketika
mendengar Syekh Hamza Yusuf (salah
seorang yang membuat saya memilih Amerika untuk studi) mengutip sebuah artikel
terkait belajar di kampus-kampus top. Kampus-kampus tersebut justru membuat
anak didiknya menjadi seperti zombie. Anak-anak pintar yang jago dalam segala
hal tetapi tidak faham tentang makna dan tujuan dia belajar selain hanya agar
bisa menjadi bagian dari elit dunia profesional. Kegiatan sebulan community service di Afrika pun hanya demi menambah daftar panjang CVnya. Gairah mencari ilmu, rasa ingin tahu, dan kehendak murni untuk berkontribusi justru tercerabut. Mungkin bukan hanya kampus di Amerika,
kampus-kampus di Indonesia pun perlu merenungkan hakikat dan tujuan kenapa dia
didirikan. Silakan klik disini
untuk bisa membaca artikel lengkapnya.
Terus semangat belajar...luruskan niat dan tetaplah
berkontribusi..
Komentar