Mengapa Amerika?bagian 2
memulai episode di Bible Belt
"Don't mistreat any foreigner who live in your land. Instead, treat them as well as you treat citizens and love them as much as you love yourself. Remember, you were once foreigner in land of Egypt. I am the lord of your God." Leviticus 19:33-34 (CEV)
Akhirnya, setelah melalui perjalanan yang relatif panjang, sekitar 27 jam, sampailah saya di Norfolk, Virginia. Disana saya disambut oleh Pak Kurnia, orang Indonesia yang sudah lama bermukim disini. Tidak banyak orang Indonesia disini; Pak Kurnia bersama keluarga, dan 2 orang mahasiswa. Sempat khawatir juga dengan minimnya jumlah orang Indonesia disini. Bagaimana nanti mencari penginapan sementara, bagaimana mencari apartemen, kebutuhan sehari-hari, ibadah bahkan bahkan prospek keberhasilan akademis.
Pengalaman sebelumnya di Belanda sangat berbeda. Disana banyak teman senasib dan sepenanggunan, jadi meski saya terlambat datang karena kendala visa, urusan bisa relatif mudah diselesaikan karena banyak teman Indonesia yang membantu. Tetapi ternyata jumlah tersebut tidak cukup berpengaruh dalam proses adaptasi saya disini. Apa yang saya butuhkan sebagai pelajar disini, cukup tersedia berkat bantuan warga asli sekitar.
Pak Kurnia melalui organisasi yang dibentuknya (GSF), menjadi fasilitator bagi masyarakat sekitar yang ingin membantu para mahasiswa asing di Norfolk. Masyarakat ini adalah komunitas gereja-gereja di sekitar kampus ODU. Norfolk, Virginia dan Amerika daerah Selatan secara umum sering disebut sebagai daerah Bible Belt. Disini nilai-nilai kristiani masih relatif kuat dan kuantitas warga yang rutin beribadah ke gereja termasuk tinggi. Dan dari komunitas seperti inilah saya mendapatkan bantuan dan belajar untuk bisa lebih terlibat dan membantu orang lain.
Hanya semalam saya menginap di rumah Pak Kurnia, dan selanjutnya saya diinapkan di rumah sebuah keluarga asli Amerika, Jim dan Barbara. Mereka membantu saya dalam mencari apartemen, mengenalkan kota Norfolk, dan banyak hal terkait kehidupan di Amerika. Selain makanannya yang lezat, perbincangan pasca makan malam menjadi hal yang sangat berkesan bagi saya. Mereka pun belajar banyak dari saya; terkait makanan yang dimakan oleh muslim, terkait Islam itu sendiri, Indonesia dan bahkan isu ISIS (karena hal ini yang lagi ramai dibincangkan di TV). Barbara pun mulai memasak dengan wajan yang terpisah ketika ada daging tidak halal yang nimbrung dalam menu.
Mereka sangat baik. Bahkan mereka menalangi dulu sewa apartmen karena uang saya di Bank tidak bisa langsung dicairkan. Waktu beberapa hari yang direncanakan sebagai akomodasi sementara menjadi molor hingga hampir 2 minggu. Ya, saya tinggal dan dijamu di rumah tersebut hingga dua minggu lamanya. Mereka belum mengijinkan saya pindah hingga apartemen saya tersedia perabotnya.
Penyediaan perabot ini salah satu isu penting bagi mahasiswa asing. Ada teman saya yang hingga kini masih tinggal di apartmen yang kosong melompong karena uangnya digunakan untuk keperluan studi dan belum cukup untuk membeli perabot rumah. Teman saya menunggu perabot-perabot buangan yang masih layak untuk dikumpulkan. Hal yang sangat lumrah bagi mahasiswa asing, kalau tidak dapat warisan ya menunggu perabot yang gak terpakai dan dibuang orang. Alhamdulillah, saya tidak mengalami hal tersebut kali ini. GSF dengan bantuan beberapa gereja disini, mendistribusikan perabot untuk dipinjam dan dipakai oleh mahasiswa. GSF pun dulu memulainya dari mengais dan mengumpulkan perabot bekas, tetapi tahun ini salah satu gereja mendapatkan perabot satu asrama penuh dari sebuah institusi pemerinta. Dan perabot-perabot itulah yang saat ini mengisi apartemen-apartemen mahasiswa baru, termasuk apartemen saya. Mereka bahkan menyiapkan perabot khusus untuk saya, karena tahu bahwa sebentar lagi keluarga saya menyusul, in sya Allah.
Ada beberapa hal yang saya pelajari dari hal tersebut. Pertama, sebagaimana Pak Kurnia dengan jeli melihat kebutuhan para mahasiswa (karena dia pernah mengalaminya sendiri) dan menghubungkan dengan orang atau komunitas yang bersedia membantu. Sangat sederhana. Niatnya bagaimana bisa membantu orang lain, dan disini justru mahasiswa asing yang sangat butuh bantuan tersebut. Hal sederhana dari membantu mencari apartment, memahami kontrak, mencari perabot dsb menjadi hal yang sangat rumit dan sulit bagi seorang mahasiswa asing yang tiba di tempat baru, sedangkan masyarakat sekitar adalah masyarakat yang ingin membantu tapi tidak cukup tahu apa yang jadi masalah di sekitarnya. Hal yang rumit tadi, bagi mereka sangat sepele. Banyak dari mereka kaget, oh ternyata kalau sewa apartement tidak ada perabotnya, tidak semua beasiswa mahasiswa cair di hari pertama mereka tiba dsb. Mensinergikan keduanya menjadi sebuah hal yang luar biasa. Untuk berbuat baik tidaklah rumit kan?
Yang kedua, dengan referensi kasus kristenisasi di kampung halaman, kadang saya sempat bertanya-tanya, ada maksud apa nih, orang-orang gereja membantu kami. Saya dan Barbara serta Jim sempat mendiskusikannya. Dan ketika saya tanya langsung ke Barbara, dia menunjukkan sebuah poster dengan kutipan yang tersebut di atas. Membantu orang asing baginya adalah ibadah. Barbara menambahkan, dia gak percaya bisa memaksa orang berpindah keyakinan. Hal yang terpenting baginya menjadi seorang kristen adalah berbagi dan membantu orang lain. Apakah itu tulus atau hanya kedok? Kalau terkait Barbara dan Jim, aku yakin mereka tulus. Mereka ingin mengenal, membantu dan meringankan kesulitan-kesulitanku. Terima kasih Jim dan Barbara, terima kasih Pak Kurnia dan segenap kru GSF.
Komentar