Menghidupkan Tradisi Skolastik Abad Pertengahan dalam Perkuliahan
Sudah lama kuliah, tapi kok masih (merasa)
bodoh? Seakan-akan tidak ada satupun bidang studi ataupun ketrampilan yang dikuasai
dari bangku kuliah. Apakah pertanyaan ini juga muncul di kepala Anda? Jangan khawatir, ini bukan masalah Anda
semata, mereka yang menyandang gelar master dan doktor juga mengalaminya.
Banyak lulusan perguruan tinggi yang melupakan hampir semua materi yang pernah
dipelajarinya. Gelar, apalagi pascasarjana, menjadi tiket mendapatkan pekerjaan
bergaji tinggi, tak lebih dari itu.
Pernahkah Anda perhatikan kebodohan telah
menyebar luas? Para cendekiawan dan pemimpin kita berdebat di media, namun
mereka tidak mampu menjawab pertanyaan dan menangkis pendapat lawan dengan
tepat. Bagaimana perbincangan publik dan rapat dewan terhormat dipenuhi dengan
kesalahpahaman konseptual dan pembahasan hal-hal tidak penting. Padahal berbagai survei menunjukkan bahwa
tingkat melek huruf masyarakat kita makin tinggi, sekolah menjamur, dan pameran
buku selalu dipadati pengunjung. Dimana letak akal sehat nan cerdas produk
pendidikan tinggi kita? Bahkan di lingkup yang lebih kecil, di kampus,
sangatlah sedikit kita temukan mahasiswa yang mampu memahami materi bacaan
secara benar, berargumen secara logis, dan menulis secara terampil.
Sayangnya, jawaban institusi pendidikan
kita sering kali tidak tepat. Penambahan fasilitas, gedung yang mewah, program
eksekutif, penambahan mata kuliah (subject)
mutakhir dalam kurikulum dsb justru jadi andalan. Padahal bukan itu yang kita
butuhkan. Kita kehilangan “perangkat belajar” (tools of learning) yang menjadi ‘senjata utama’ mahasiswa memilah
dan mengolah informasi.
Dorothy Sayers, pakar pendidikan Oxford
memaparkan dalam esainya berjudul “The
Lost Tools of Learning” tentang pentingnya mengadaptasi silabus skolastik
abad pertengahan Eropa dalam kurikulum pendidikan kontemporer. Silabus skolastik
abad pertengahan dibagi menjadi dua: trivium
dan quadrivium. Trivium terdiri dari
gramatika, dialektika, dan retorika sedangkan quadrivium terdiri dari bidang
studi. Ketiga hal komponen trivium inilah yang disebut sebagai perangkat
belajar. Sayers mengatakan bahwa saat ini kita mengajar anak-anak didik semua
hal kecuali bagaimana cara belajar.
Anak-anak didik abad pertengahan mengawali
proses belajarnya dengan belajar bahasa, bukan hanya sekedar untuk
berkomunikasi tetapi memahami struktur dan bagaimana bahasa itu berfungsi.
Kemudian mereka belajar menggunakan bahasa tersebut, bagaimana menyusun
pernyataan yang benar, membangun penalaran dan menganalisa kesalahan dalam
argumen. Terakhir, mereka belajar
mengekspresikan diri mereka secara elegan dengan bahasa. Sebagai bukti bahwa
seorang anak didik telah berhasil menyelesaikan tahap trivium, dia harus membuat
tesis yang harus dipertahankan di
hadapan publik. Kesemuanya harus mereka
lalui sebelum mereka memulai belajar bidang studi yang mereka minati atau quadrivium
di universitas.
Saat ini, banyak dari kita memulai belajar di
universitas tanpa dibekali perangkat belajar tersebut. Implikasinya, mahasiswa
mengalami kesulitan memahami bahan bacaan yang ditugaskan, membuat ringkasan untuk
mengikat makna dan mengulas secara kritis, menalar dan berdebat secara benar,
serta menulis makalah atau skripsi yang kemudian dipertahankan dalam sidang
skripsi. Tentunya semua ini bukan murni kesalahan pendidikan dasar dan menengah
kita. Solusi mendesak untuk para mahasiswa yang sudah terlanjur ‘bertempur
tanpa senjata’ di universitas adalah kurikulum untuk menguasai perangkat belajar.
Hingga mereka secara umum mampu berfikir secara metodologis.
Kita juga bisa mengambil inspirasi dari
tradisi skolastik abad pertengahan berupa keseimbangan antara muatan ‘subject’ (bidang studi) dan perangkat
belajar. Mahasiswa perlu dilatih untuk membaca secara mendalam, menyusun
argumen, menalar, berdebat secara elegan dan persuasif serta menulis secara
terampil. Sebenarnya hal tersebut sudah dipraktekkan dalam perkuliahan. Akan
tetapi hanya sebagai pelengkap evaluasi bidang studi. Pembekalan perangkat
belajar kepada mahasiswa menjadi hal sampingan. Bahkan kalaupun hal tersebut
dipraktekkan dalam metode perkuliahan, mahasiswa tidak mendapat umpan balik
secara memadai dari pengajar. Tidak ada instruksi bagaimana cara membaca buku, menilai argumen dan kesimpulan di dalam
buku tersebut. Tidak ada yang mengoreksi kesalahan penggunaan bahasa dan kecerobohan
mahasiswa dalam menyusun penalarannya. Isu-isu,
mata kuliah, bahkan bidang studi akan terus berubah seiring perkembangan jaman,
justru perangkat belajar ini yang manfaatnya tak lekang ditelan masa.
Pendidikan di universitas bertujuan
menjadikan para lulusannya menjadi manusia dewasa yang mampu belajar mandiri
tanpa henti dibatasi sekat-sekat ruang kelas. Penguasaan terhadap perangkat belajar
sangatlah penting dalam mencapai tujuan tersebut. Sayangnya institusi-institusi
pendidikan justru menuju ke arah yang berlawanan. Menjadikan orang-orang dewasa
tetap menjadi anak-anak yang selalu merasa bodoh dan kecanduan untuk terus
sekolah. Semoga tuduhan saya keliru.
Muhammad Sigit
Utan Kayu, 11 Maret 2011
Ditulis tuk tabloid mahasiswa UIN Jakarta (yang namanya lupa :) )
Komentar