Google dan Universitas 2.0

Google dan Universitas 2.0


Hari ini, selesai sudah buku Jeff Jarvis ' What Would Google Do?" selesai kubaca. Buku yang kutemukan di tumpukan buku diskon pada Jakarta Book Fair kemarin. Meski bukan buku baru, banyak idenya yang masih segar dan bahkan visioner. Buku ini mengulik pendekatan Google atau "Google's way" menjadi perusahaan yang sukses dan mencoba mendiskusikan bagaimana Google way ini bisa dipraktekkan di berbagai lini kehidupan; politik, pendidikan, bisnis, kesehatan dan sebagainya.
   
Google menawarkan suatu cara pandang dan solusi yang baru terhadap kehidupan. Benar, yang baru tidak selalu lebih baik atau efektif. Akan tetapi, 2 fakta cukup menjadi alasan bahwa memilih yang baru adalah satu-satunya pilihan. Fakta ketika model lama jelas terbukti tidak efektif, dan fakta ketika lingkungan itu sendiri sudah banyak berubah. Dan disinilah aku merasa cara pandang ini relevan dengan kehidupan akademik universitas yang semakin kadaluwarsa. 

Salah satu bab dalam bukunya membahas tentang apa yang bisa dipelajari oleh universitas dari Google's way. Ada empat fungsi universitas yang disebut oleh Jarvis; sosialisasi, pengajaran, penelitian dan pengujian. Empat hal ini ditantang oleh perubahan yang dibawa oleh Google. Mahasiswa lebih eksis dan bersosialisasi di media sosial, belajar dari berbagai sumber dengan perangkat mesin pencari dan klik daripada mendengarkan kuliah dosen, kegiatan penelitian pun tidak lagi dimonopoli oleh akademisi kampus, ide baru,perangkat baru justru diuji, dikritisi, diperbarui oleh kolaborasi luas konsumen, peneliti partikelir, warga awam melalui interaksi blog dsb, dan terakhir, ijazah kelulusan pun semakin dipertanyakan sebagai ukuran kompetensi seseorang, orang mencari pakar dengan referensi di internet. Bagaimana universitas harus meresponnya? 

Universitas dituntut untuk berubah jika tidak ingin ditinggalkan di masa depan. Jarvis memimpikan Universitas -sesuai prinsip google- berfungsi sebagai platform kolaborasi daripada sebagai pemegang monopoli dan kendali pengetahuan. Mahasiswa bisa bebas memilih pengajar dan materi yang diinginkan, dan bahkan pengajarnya pun bebas memilih mahasiswa yang diterima. Jaringan universitas harus dioptimalkan. Investasi pendidikan mahasiswa yang mahal tidak dibatasi oleh gedung dan kelembagaan kampus tempat dia terdaftar. Mahasiwa bisa mengambil kuliah dimana pun dalam jejaring antar kampus. Tidak ada lagi keluhan: "Kenapa saya harus ambil mata kuliah yang tidak kubutuhkan?" atau "Saya suka mata pelajarannya, tapi apa gak ada dosen lain?" Pertemuan di dalam kelas pun bisa dikurangi sehingga lebih efisien dalam biaya operasional kampus dan pertemuan/diskusi bisa diadakan dimana dan kapan saja. Salah satu model yang dikembangkan, The Berlin School of Creative Leadership, selain memanfaatkan online, universitas ini sesekali mengadakan pertemuan kelas di kota-kota yang berbeda.

Kualitas dosen tidak lagi didasarkan pada nama besar kampus, otorisasi DIKTI, jabatan akademik, senioritas ataupun kualifikasi administratif lainnya, kan tetapi memang benar-benar kualitas akademik yang diakui oleh publik. Dosen akan memasang karyanya, penelitiannya di blog, menerbitkan buku dsb yang otomatis akan menjadi ukuran bagi mahasiswa untuk memilih kepada siapa dia menuntut ilmu. "Akademisi harus ngeBlog, pilihannya hanya tunjukkan karya di Blog atau punah," ungkap Jarvis. 

Banyak hal yang bisa dikembangkan tentunya. Bukan hanya bisa, tetapi harus. Masyarakat semakin skeptis terhadap universitas sebagai tempat menuntut ilmu; iklim belajar dan mengajar yang suram dengan biayanya mahal. 

Di antara prinsip Google yang dibahas oleh buku ini adalah prinsip 20%. Prinsip ini sangat menarik. Karyawan Google diharuskan untuk mengalokasikan 20% waktu bekerjanya untuk melakukan suatu proyek kreatif di luar pekerjaan. Bisa berupa proyek sosial, buku, pengembangan software atau game baru atau apapun. Seorang karyawan Google akan gelisah ketika saat ini dia belum menemukan sebuah proyek mingguan yang menarik untuk dikerjakan. Ternyata banyak inovasi Google lahir dari penerapan prinsip 20% ini  Saya ingat bagaimana beberapa teman salah satunya Irfan Amalee yang minta ijin kepada bosnya di Mizan untuk meluangkan sehari dalam weekdays untuk membuat proyek idealismenya. Dari sinilah modul pendidikan perdamaian peace generations lahir. 

Jika diterapkan prinsip ini di universitas, mahasiswa tidak hanya menghabiskan waktunya mendengarkan ceramah di kelas. Salah satu dari matakuliah atau beberapa jam pertemuan bisa dikonversi menjadi sebuah proyek entah menulis buku, membuat mesin atau software, dan melakukan proyek yang lain. Mahasiswa hanya diberi permasalahan, terserah seperti apa dia akan membuat solusinya. Sayangnya proses belajar masih dibatasi dengan prosedur yang kaku, masa studi dsb.  Proses belajar sebagai social learning inilah yang harusnya diadopsi oleh universitas. Universitas menjadi sebuah platform, berjejaring, dan lembaga yang elegan. Inilah Universitas 2.0.

“Of course this is about more than simply raw network speeds; the Internet of Everything will also impact some of our basic assumptions about the purpose and nature of education. People today generally agree that the purpose of education is to convey knowledge. But if all the world’s knowledge is instantaneously available online via smartphone or Google Glass, how does that affect what we need to teach in school? Perhaps education will become less about acquiring knowledge, and more about how to analyze, evaluate, and use the unlimited information that is available to us. Perhaps we will teach more critical thinking, collaboration, and social skills. Perhaps we will not teach answers, but how to ask the right questions.” Dave Evans dari Cisco





Komentar

Anonim mengatakan…
sedang menyimak. Bacaannya Pak Sigit oke nih. :)

Postingan populer dari blog ini

Menghidupkan Tradisi Skolastik Abad Pertengahan dalam Perkuliahan

Mengapa Amerika? bag.1