Postingan

Menampilkan postingan dari 2008

Pertanyaan tentang Poligami

Saat itu hari sabtu, saya menyempatkan untuk mencuci celana lampin Sofie yang terkena kotorannya. Betapa luar biasa perkembangan makhluk Allah ini, Sofie sudah hampir 7 bulan dan kotorannya sudah mulai mengeras seperti orang dewasa (hehe maaf tidak bermaksud jorok). Tidak mudah membersihkan dengan sabun mandi tapi jelas memang telah terbukti sabun mandi lebih baik daripada yang lainnya. Selain itu sabun mandi lebih ramah lingkungan daripada deterjen. Lebih parah lagi kalau memakai popok yang sekali pakai, berapa pohon yang harus ditebang untuk membuatnya dan belum lagi sampahnya. Memang kami belum bisa melepaskan diri dari penggunaan popok sekali pakai yang tidak ramah lingkungan ini tapi akan sangat baik jika kita bisa menguranginya. Tapi kesempatan ini bukan saatnya untuk membicarakan hal tersebut. Ketika itu terbersit dalam pikiranku ,”Wah bagaimana kalau punya dua anak atau lebih yang umurnya tidak terpaut jauh, betapa sibuk mencucinya, belum lagi pekerjaan rum

Nilai Sebuah Pekerjaan Kasar

“Matajuro Yagyu adalah anak dari keluarga ahli pedang ternama. Akan tetapi ayahnya menilai dia tidak berbakat. Didorong oleh tekadnya yang kuat, Matajuro pergi ke Gunung Futara untuk berguru pada Banzo, seorang yang juga dikenal sebagai ahli pedang. Awalnya Banzo pun menolaknya sebagai murid karena sangsi dengan bakatnya. Akan tetapi karena terkesan oleh tekad Matajuro yang begitu kuat, maka akhirnya Banzo pun meluluskan permohonan Matajuro. Hari demi hari berlalu tetapi latihan pedang yang diharapkan Matajuro tak kunjung diterimanya. Sehari-hari dia harus melakukan pekerjaan seperti memasak untuk gurunya, mencuci peralatan dapur, merapikan tempat tidur, membersihkan tempat sembahyang dan merawat kebun. Sedikitpun tidak pernah dia menyentuh pedang dan berlatih seni pedang. Hal ini berlangsung hingga tahun ketiga dia menjadi murid Banzo. Suatu ketika ketika Matajuro sedang memasak, tiba-tiba Banzo datang dan melancarkan serangan dengan pedang kayu. Demikian pula hari berikutnya. Karena

Hutang kaum terpelajar_bagian 2

Gambar
“ Datangilah orang-orang yang sedang bekerja, perhatikan dengan seksama. Kemudian pulanglah dan rumuskan dalam asas dan teori untuk engkau bawa kembali kepada mereka. Umumnya mereka bekerja hanya dengan landasan pengalaman dan kebiasaan, maka diharapkan dengan asas dan teori yang engkau rumuskan dapat membuat kerja mereka menjadi lebih baik” (Mao tse tung) Saudaraku, sudahkah dirimu memutuskan? Apakah apakah dirimu memilih memanfaatkan ilmumu sebagai paspor untuk memasuki ekslusifitas kaum-kaum istimewa di negeri ini, kaum yang mendapat segala macam kemudahan dan fasilitas ketika sebagian rakyatmu mengantri minyak. Ataukah memilih menyandang title kaum terpelajar sebagai jalan untuk membayar hutang-hutangmu pada rakyat, mengabdi pada rakyat, membaktikan ilmu dan dirimu untuk kebaikan masyarakat kebanyakan. Pilihan ada di tanganmu- diriku tidak ada wewenang untuk mengajari siapapun bagaimana untuk hidup- dan jika pilihan kedua yang kupilih (pilihan benar yan

Peter Pan dan lenyapnya dongeng

“Peter Banning, Peter Pan yang telah tumbuh dewasa menjadi seorang ayah, menjadi seorang pengacara yang sukses kembali pulang kampung ke London . Dalam lawatan ini kedua anaknya diculik oleh musuh bebuyutannya, Kapten Hook, Pemimping Bajak laut yang kejam. Maka tiada pilihan kecuali Peter Banning harus kembali menjadi Peter Pan untuk bisa bertarung melawan Hook dan membebaskan kedua anaknya. Peter Pan sang anak pemimpin geng The Lost Boys, sang anak yang menjadi pahlawan negeri Neverland. Sang anak yang mampu terbang dan menumpas bajak laut. Tetapi masalahnya, perutnya sudah menggelambir terlalu banyak lemak, dia lupa bagaimana caranya terbang, dia telah lupa caranya bertarung, dia lupa bahwa dia adalah Peter Pan dan yang paling mengenaskan dia lupa dengan senjata utamanya ketika melawan bajak laut-senjatanya setiap anak-anak yaitu dia lupa bagaimana caranya berkhayal.” Dalam sebuah pengajian, sang Da’i menyampaikan materi tentang sirah nabi Muhammad SAW. Dikisahkan baga

Manusia Cerdas

Tatkala seorang ibu di lingkungan rumah kami mengatakan,”Kalau anak perempuan mirip dengan ayahnya, biasanya dia cerdas.”Sontak saja bibir kami mengucapkan amiin…ya kebetulan memang banyak orang lain juga mengatakan bahwa wajah Sofie mirip sekali dengan Ayahnya. Tak berhenti kami memanjatkan doa agar harapan bahwa anak kami akan menjadi orang yang cerdas terkabul. Akan tetapi hal ini juga membuat saya berfikir, cerdas itu apa dan seperti apa manusia cerdas. Jelas kami khawatir jika doa kami terkabul tetapi sebenarnya cerdas itu bukanlah kualitas yang ingin kami saksikan terdapat pada anak kami, pasti kami akan sangat menyesal mengucapkan amiin. Karena itu penting untuk bisa memahami apa definisi cerdas sebelum ucapan-ucapan amiin berikutnya terucap. Istilah cerdas muncul dalam kehidupan kita di ruang kelas di sekolah. Bahwa kita anak-anak yang tidak tahu apa-apa, dan merasa bahwa yang membedakan diriku dengan Deki, atau Heri temanku adalah rambu

Demokrasi Langsung?mengapa tidak...

Demokrasi langsung? Bisa… (Lanjutan dari Petani Yeoman dan Renungan Demokrasi Kita) Pilar yang pertama dari demokrasi yang dibahas sebelumnya adalah authority (otoritas). Otoritas berarti kemampuan untuk mengatur. Demokrasi mengajarkan bahwa dalam proses pengambilan keputusan, orang atau pihak yang akan terkena dampak keputusan tersebut haruslah dilibatkan. Menjadi masalah sekarang ini karena demokrasi terjebak dalam hal-hal prosedural. Adanya pemilu sudah dianggap cukup sebagai indikator bahwa demokrasi berjalan baik. Secara rutin kita memberikan suara kita setiap lima tahun kepada orang-orang yang kita percaya sebagai wakil kita hanya untuk kemudian melupakan diri kita dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Kita tidak pernah diajak untuk berdiskusi mengenai hal-hal terkait kehidupan kita. Karena merasa sebagai wakil rakyat, sepertinya menganggap sudah tahu pasti bagaimana perasaan dan kemauan rakyat. Mengapa hanya mau jadi wakil ketika menga

Petani Yeoman dan Renungan Demokrasi Kita

Petani Yeoman dan Renungan Demokrasi Kita Negeri kaya akan minyak, tetapi rakyat begitu setengah mati untuk mengaksesnya. Mahal dan terkadang langka. Demikian pula dengan barang-barang lain yang menjadi hajat hidup orang banyak. Perusahaan-perusahaan negara diobral sebegitu rupa. Mengapa sistem demokrasi yang kita bangun tidak mampu menghentikan penjarahan ini? Bagaimana sebenarnya membangun masyarakat yang mampu menghadapi fenomena ini? Ada tiga pilar bagi terciptanya sistem demokrasi yang demokratis dan ideal diharapkan mampu mengantisipasi kondisi yang terjadi pada kita sekarang ini. Yang pertama adalah authority (otoritas). Bahwa orang yang akan terkena dampak sebuah kebijakan harus terlibat dalam memutuskan kebijakan tersebut. Hal ini sudah mulai kita bangun sejak bergulirnya reformasi. Dengan desentralisasi, pemilihan kepala daerah (pilkada) secara langsung, maka kita semakin terlibat dalam hal-hal yang akan berpengaruh bagi kehidupan kita. Par

Hutang Kaum Terpelajar_bagian 1

Gambar
Hutang kita sebagai kaum terpelajar… (setelah membaca Small is Beautiful , EF Schumacher) ,”Saya bertengger di punggung seseorang, mencekiknya dan memaksanya menggendong saya-sambil meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya sangat kasihan kepadanya, dan mudah-mudahan dapat meringankan bebannya-dengan cara apapun, kecuali turun dari punggungnya.” (Leo Tolstoy) Seketika tercekik tercekat mendengar kutipan tersebut, kutipan yang melukiskan diri kita sebagai orang-orang yang menyatakan diri kita terpelajar. Simpati dan retorika kita utarakan sebagai wujud kepedulian kita terhadap orang-orang di bawah kita tetapi satu hal yang tetap kita pertahankan yaitu agar mereka tetap di bawah kita. Proyek Bantuan Langsung Tunai (BLT) menunjukkan persis sikap mental tersebut di atas. Seakan begitu mulia kita memberikan uang tunai kepada mereka orang miskin, tapi jelas BLT tidak akan membuat mereka bangkit dari keterpurukan, bangkit dan menurunkan kita dari gendongannya. Ki

Pertempuran Akbar

Muhammad terpekur di sebuah bukit di luar kota Thaif. Sembari mengusap peluh dan tumitnya yang berdarah memanjatkan doa atas kelemahan-kelemahannya. Beberapa menit sebelumnya, dia terusir dengan begitu hina tatkala penduduk oasis yang subur tersebut menolak untuk mengikuti seruannya. Lemparan batu, hinaan dan caci maki justru yang dia terima. Malaikat gunung yang mendengar rintihannya mendekat ,”Tuhan telah mengutusku untuk engkau perintah apa saja. Jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini di atas mereka.” Nabi yang suci menjawab,”Bahkan aku menginginkan agar Allah berkenan mengeluarkan dari anak-anak keturunan mereka generasi yang menyembah Allah semata.” Sungguh agung… Kal-el, yang diyakini sebagai anak Krypton terakhir sebelum planet tersebut hancur, dikirim ke bumi. Di tengah manusia-manusia yang lemah dibandingkan kemampuannya. Pertarungan mencari jati diri dan misi hidupnya apakah dia menjadi seorang yang akan menguasai bumi dan menjadi dewa di atas manusia at

Berdoa untuk Dunia

Saudaraku, sudahkah engkau sempatkan hari ini berdoa untuk perbaikan dunia? Dunia setiap detik dimunculkan di depan mata kita melaui berbagi media. Segala ketidakberesan dan kekacauannya. Membuat diri kita semakin frustasi. Semakin banyak masalah dunia yang kita ketahui, semakin kita mengetahui betapa kita terlalu kecil untuk berdaya menyelesaikannya. Jika dalam bahasa Stephen Covey, Lingkaran kepedulian kita semakin diperluas melalui media menjadi tak terhingga luasnya, dan lingkaran pengaruh kita semakin mengecil sebagai konsekuensi kefrustasian kita. Tetapi ingatkah saudaraku, akan satu hal yang tanpa sadar kita punyai selama ini? Yang sebenarnya luar biasa dahsyat kemampuannya. Disebut-sebut sebagai senjatanya orang yang percaya, yaitu Doa. Tanpa banyak berfikir dan kita sadari kita setiap saat berdoa untuk keselamatan dan kesejahteraan diri kita dan keluarga. Dan secara misterius pula, Tuhan mengabulkan dan menjawabnya. Mengapa pula kita tidak mencoba berdoa untuk sesuatu yang l

Katak Kecil ingin jadi Buaya

Cerita ini ada di komunike-komunike Subkomandante Marcos dari Zapatista… Ceritanya begini, ada katak kecil di sebuah rawa. Setiap hari ia bermain bersama kodok-kodok lainnya. Tetapi ia tidak puas, dalam hatinya ia ingin jadi buaya karena yang ia denger dari cerita-cerita Pak buaya hebat..termasuk yang terkuat di rawa ini. Katak kecil berkata kepada teman-temannya: „“aku ingin jadi buaya“..Tentunya dapat ditebak bagaimana sambutan kodok-kodok lainnya...“kamu tak mungkin jadi buaya“ dengan iringan tawa mengejek. Si katak kecil tak surut harapan, sore itu diniatkan dan dimantapkan dalam hatinya untuk ketemu pak buaya. Sesampainya di rawa tempat tinggal pak buaya, si katak kecil bertanya dengan suara keras meskipun bergetar sedikit ketakutan. „“pak buaya, bagaimana caranya saya bisa jadi buaya?“..pak buaya tidak bisa menjawab. Dia hanya berkata,“ temuilah burung hantu, ia selalu terjaga di malam hari, mungkin ia tahu seseatu yang kita tak pernah tahu“ Kemudian, bergeraklah si katak menuju

penghidupan yang benar_bagian 2

Penghidupan yang benar adalah salah satu dari delapan jalan utama di dalam agama Budha. Sepertinya akan kutemukan disini pemaknaan alternatif terhadap arti kata bekerja. Menurut agama Budha ada tiga fungsi dari bekerja yaitu 1) memberi kesempatan untuk mengembangkan bakatnya 2)agar orang bisa mengatasi egoismenya dengan jalan bergabung dengan orang lain untuk melakukan tugas bersama, dan 3)menghasilkan barang dan jasa yang perlu untuk penghidupan yang layak. Kutipan dari J. C kumarappa: “ jika hakikat kerja itu tepat dipahami dan diterapkan, maka hubungannya dengan pikiran dan rasa yang lebih tinggi akan sama seperti hubungan antara pangan dan jasmani. Kerja menyuburkan dan menghidupkan taraf kemanusiaan yang lebih tinggi dan mendorong manusia untuk berusaha mencapai hal yang sebaik-baiknya. Kerja mengarahkan kehendak pribadi ke jalan yang layak dan mengekang sifat-sifat hewani yang ada di dalam manusia dan menyalurkannya melalui saluran yang progresif. Kerja memberikan latar belakang

penghidupan yang benar_bagian 1

Bekerja dalam rangka penghidupan sering kali kita lakukan begitu saja tanpa sebuah perenungan yang mendalam. Bahwa meniatkan bekerja untuk ibadah dan mensyukuri hasil yang didapat merupakan sebuah hal yang besar tapi terkadang belum cukup. Ada yang salah dalam pemahaman kita tentang bekerja. Kalau kita amati, bagaimana kita berjibaku membanting tulang senin sampai jumat hanya untuk membeli waktu sabtu dan minggu. Artinya kita diajarkan bekerja begitu keras karena hanya dengan cara inilah kita bisa mempunyai cukup uang sehingga kita tidak perlu kerja di akhir pekan. Seorang nelayan desa yang sederhana mencukupkan usahanya dalam bekerja hanya sebatas untuk dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Kemudian sebagian dari waktunya dia curahkan untuk bersantai, bercanda dengan anak-anaknya sembari tak lupa dalam melakukan ini semua diniatkan untuk melaksanakan kewajibannya yaitu mendidik anak-anaknya. Hal ini cukup mengherankan bagi seseorang yang mengaku cukup terdidik. Dia akan berkata,”Bap