Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober, 2012

Kembali ke Esensi Pendidikan Liberal Arts

"The first duty of a university is to teach wisdom, not a trade; character, not technicalities.”  Winston Churchill (1874-1965) Salah satu diskusi dan perdebatan dalam konvensi dosen ilmu hubungan internasional (HI) terakhir adalah terkait gelar kesarjanaan lulusan program studi HI. Apakah perlu gelar kesarjanaan khusus yang membedakannya dengan lulusan yang lain atau tidak. Hal ini didorong salah satunya oleh kebutuhan untuk menunjukkan kompetensi khusus yang dimiliki sehingga strategis dalam memperoleh pekerjaan. Bagi saya hal tersebut bukanlah hal yang esensial.  Saya pribadi sebenarnya tidak terlalu gundah ketika selama ini sulit mencari lowongan pekerjaan di koran edisi akhir pekan yang secara spesifik mencari lulusan HI. Karena bagi saya bukan itu esensi dari pendidikan HI atau pendidikan universitas secara umum. Pendidikan HI khususnya di tingkat sarjana menjadi bagian dari humanities atau ilmu kemanusiaan bersama dengan ilmu politik, filsafat, sastra, sosiolog

Menjadi Mahasiswa HI Jenius ala Yahudi Bagian II

1.        Bersandar pada daya ingatmu, dan yakinlah padanya . Budaya akademik modern cenderung menyepelekan hafalan. Bahkan banyak retorika yang menyalahkan sistem pendidikan tradisional yang hanya mengajari menghafal tanpa kemampuan analisis dan kreativitas. Alasan lain adalah informasi sudah tersebar begitu rupa di internet, buat apa menghafal. Tapi bagaimana kita bisa menganalisis dan kreatif kalau tidak cukup stok informasi dalam kepala kita. Orang Yahudi terbiasa terusir dari negerinya, karena itu mereka hanya bisa mengandalkan memorinya karena tidak praktis membawa semua buku atau kitab mereka dalam pelarian mereka. Kisah klasik Imam Alghazali ketika karavannya dirampok juga menunjukkan hal yang sama. Ketika itu Sang Imam mengatakan kepada perampoknya silakan ambil harta tapi jangan kitab-kitabnya karena disanalah pengetahuannya berada. Sang perampok menukas dengan tajam bahwa kalau dia mengambil paksa kitab tersebut berarti dia sudah mengambil pula pengetahuan sang imam.

Menghidupkan Tradisi Skolastik Abad Pertengahan dalam Perkuliahan

Sudah lama kuliah, tapi kok masih (merasa) bodoh? Seakan-akan tidak ada satupun bidang studi ataupun ketrampilan yang dikuasai dari bangku kuliah. Apakah pertanyaan ini juga muncul di kepala  Anda? Jangan khawatir, ini bukan masalah Anda semata, mereka yang menyandang gelar master dan doktor juga mengalaminya. Banyak lulusan perguruan tinggi yang melupakan hampir semua materi yang pernah dipelajarinya. Gelar, apalagi pascasarjana, menjadi tiket mendapatkan pekerjaan bergaji tinggi, tak lebih dari itu. Pernahkah Anda perhatikan kebodohan telah menyebar luas? Para cendekiawan dan pemimpin kita berdebat di media, namun mereka tidak mampu menjawab pertanyaan dan menangkis pendapat lawan dengan tepat. Bagaimana perbincangan publik dan rapat dewan terhormat dipenuhi dengan kesalahpahaman konseptual dan pembahasan hal-hal tidak penting.  Padahal berbagai survei menunjukkan bahwa tingkat melek huruf masyarakat kita makin tinggi, sekolah menjamur, dan pameran buku selalu dipadati p