Rihlah Beijing

Rihlah Beijing
 (dimuat di Majalah Colours Middle East)
          Pekerja konstruksi tersebut duduk menyandarkan punggungnya pada sebuah pohon di halaman Stasiun Dongsi. Sambil menunggu makan siangnya disiapkan, dia membuka tutup jerigen dan menuangkan air berwarna kehijauan ke dalam mangkuk minumnya. Sebuah pemandangan yang lazim saya lihat di Beijing dimana para pekerja selalu menenteng sebuah wadah berisi air teh hijau ke tempat kerjanya.  Minum teh hijau adalah tradisi yang masih terpelihara di tengah giatnya warga Beijing membangun dan memodernisasi kotanya.
Perjalanan ini adalah sebuah impian lama yang terwujud.  Impian saya terinspirasi oleh buku berjudul “Rihla” yang ditulis oleh seorang muslim petualang asal  Maroko yaitu Ibnu Battutah. Ketika ia  menginjakkan kakinya di kota ini pada tahun 1345, ia sangat terpesona oleh Tembok Raksasa.  Dia meyakini bahwa tembok yang berada di pinggiran Beijing ini dibangun oleh Dzulqarnain untuk menahan serangan Yajuj dan Majuj (Gog dan Magog) yang disebut dalam AlQuran.

Keliling Kota dengan Beijing Ditie
                Beijing atau Peking terkenal dengan berbagai destinasi yang menarik; tradisional maupun kontemporer.  Tidaklah mudah untuk mengekplorasinya hanya dengan 3 hari waktu kunjungan seperti yang saya alami saat itu. Untunglah ada moda transportasi favorit saya yaitu subway atau dikenal dengan Beijing dietie. Kereta bawah tanah Line 1, Line 2, Line 4, dan Line 5 menghubungkan destinasi-destinasi wisata utama Beijing. Kereta ini sangatlah bersih dan dilengkapi dengan petunjuk berbahasa inggris. Maka dengan harga tiket sebesar ¥2 (Rp. 1.500) untuk sekali jalan, maka saya dapat mengunjungi banyak tempat dengan cepat, murah dan tanpa khawatir tersesat.
                Tema hari pertama kunjungan saya adalah wisata sejarah. Saya  berencana mengunjungi Tiananmen Square, Forbidden City, Temple of Heaven, Nanluoguxiang, Lama Temple dan Temple of Heaven. Hanya butuh sekitar 10 menit dengan Line 1 untuk tiba di Stasiun Tiananmen East dari penginapan saya di bilangan Dongsi. Tiananmen Square adalah lapangan yang sangat luas. Sebelum saya kesini, saya membayangkan sebuah lapangan yang sunyi dan angker mengingat apa yang pernah terjadi pada Tragedi protes 1989.  Yang terlihat justru sebaliknya. Hiruk pikuk wisatawan berfoto dan penjual menjajakan dagangannya menjadi pemandangan sehari-hari. Semua sejarah modern China disajikan disini.  Monumen granit People’s Heroes, Memorial Hall Chairman Mao dimana beliau disemayamkan, People’s Hall dimana urusan diplomatik diatur dan National Museum yang berada di sekitar lapangan tersebut memberitahu banyak hal tentang bangsa ini. Hal yang tidak boleh dilupakan disini adalah berfoto diri dengan latar belakang Tiananmen Tower yang memampang pasfoto Chairman Mao berukuran besar disana.
Kontras dengan nuansa modern Tiananmen Square, Forbidden City atau Kota Terlarang ini membawa saya ke alam abad pertengahan. Saya seakan menyusuri sebuah kota tua tak berujung dengan ratusan bangunan yang  dimilikinya.  Pintu keluar sebuah istana menjadi pintu masuk menuju istana selanjutnya. Kota ini dibangun dengan pola yang simetris dengan poros utara ke selatan. Secara keseluruhan terdapat 5 aula terbuka, 17 istana dan ratusan bangunan lainnya.
                Dari gerbang selatan, saya langsung berjalan kaki menuju ke Nanluoguxiang. Jalan atau lebih tepatnya gang ini sudah ada semenjak 700 tahun yang lalu. Disini kita bisa menyusuri lorong-lorong tua dengan jalan kaki, sepeda ataupun menyewa rickshaw atau becak untuk merasakan nuansa kampung Beijing tempo dulu.
                Hari mulai sore dan saya perlu segera mengisi perut yang lapar. Dengan berbagai pertimbangan, saya menunda kunjungan ke Lama Temple dan Temple of Heaven. Saya langsung menuju Masjid Nieujie untuk melakukan sholat jamak dhuhur-ashar sekaligus mencari makan siang yang halal.

Masjid Nieujie
                “Indonesia..ah..Soekarno,” seru penjaga Masjid Nieujie sesaat dia tahu darimana asalku. Beliau kemudian mengantarku ke tempat wudhu. Sekilas bangunan ini mirip sebuah klenteng dengan ornamen kaligrafi Arab. Pola bangunannya yang persegi dan simetris , tiang-tiang penopang atap berwarna merah, sebuah minaret kecil di halaman depan tempat sholat utama menggambarkan perpaduan arsitek bangsa Han dan Arab.
                Di daerah sekitar masjid, terdapat perkampungan muslim yang sebagian besar beretnis Hui. Tidak sulit mencari restoran halal disini. Restoran halal memasang tulisan halal berwarna hijau atau tulisan syahadat sebagai tanda. Pelayan-pelayan wanita bertutup kepala sibuk melayani pelanggannya. Tutup kepala tradisional mereka sedikit berbeda dengan jilbab yang mafhum dipakai kaum muslimah lain. Muslimah Hui kebanyakan hanya menutupi rambutnya dan tidak menutup bagian leher. Yang menjadi masalah justru dalam memilih menu. Bagaimanapun juga bahasa menjadi kendala terbesar. Tidak banyak orang China bisa berbahasa Inggris dan membaca huruf latin. Maka solusi terbaik adalah mencari restoran yang memajang menu bergambar di dindingnya.
                Sebelum berpisah, sang penjaga masjid meminta uang kepadaku. Ia menggeleng ketika kusodorkan selembar uang Yuan kepadanya. Dia mengambil uang dari kotak kaleng miliknya dan menunjukkan koleksi uang dari berbagai negara. Ah, dia menghendaki kenang-kenangan berupa uang rupiah dariku.   
               
Mendaki Simatai
                Tembok Raksasa ternyata bukanlah sebuah tembok tunggal yang tersambung tanpa putus dan berada dalam satu area saja. Ada delapan lokasi tembok raksasa di bagian utara Beijing. Simatai adalah salah satu tembok yang masih asli dan belum banyak renovasi. Menyusuri tembok semacam inilah yang bisa memberikan kesan lebih mendalam. Hari kedua sepenuhnya saya habiskan untuk mengunjungi tembok raksasa ini.
                Saya memilih untuk berjalan kaki dan tidak menggunakan kereta gantung. Butuh sekitar 2 jam untuk menyelesaikan trek ini. Panorama di sekitarnya berupa pegunungan tandus kecoklatan dengan banyak perdu. Beberapa kali saya harus merangkak karena terjalnya jalan yang harus didaki. Bahkan di beberapa titik, saya harus memutari bukit terlebih dahulu karena dasar tembok sudah rapuh. Di akhir pendakian,  kita bisa memilih turun melalui undakan atau meluncur dengan flying fox di atas sebuah danau. Sebuah pengalaman yang mengasyikan.
               
Panda Raksasa
                Saya tidak ingin meninggalkan Beijing sebelum melihat secara langsung hewan langka pemakan bambu ini. Tidak semua kebun binatang di dunia memiliki panda raksasa. Belumlah lengkap kunjungan ke Beijing tanpa mengunjungi Beijing Zoo. Oleh karena itu, dalam perjalanan menuju bandara saya singgah dulu kesana dengan menaiki kereta line 4. Beijing Zoo menjadi destinasi terakhir saya di Beijing.
               
Beijing telah berdiri dan bertahan lebih dari 3000 tahun. Bukanlah masa yang singkat untuk sebuah kota. Meski tak muda lagi, Beijing tetaplah memesona.

5 sense –sight
Pola penataan ratusan bangunan di Kota Terlarang sangatlah khas. Sebuah gerbang kokoh membawa kepada sebuah aula terbuka persegi berlantaikan batu. Di hadapannya berdiri megah sebuah istana dan puluhan rumah kecil yang seragam di sekelilingnya.  Tembok berwarna merah dan atap kuning kecoklatan mendominasi struktur bangunan istananya. Sedangkan rumah-rumah kecil di sekelilingnya dinaungi genting berwarna hijau. Pola penataan ini didasarkan pada filosofi yang terdapat kitab I Ching dan budaya Konghucu yang dianut mayoritas bangsa China.

5 sense-taste
                Hong Bin Lou adalah salah satu restoran halal yang menyajikan makanan khas Beijing yaitu Bebek Peking. Restoran yang berdiri sejak 1853 ini terletak di distrik yang sama dengan Masjid Niuejie. Bebek panggang renyah diiris dan disajikan dengan sedikit daging dan lebih banyak kulit.  Hidangan ini disantap bersama saus hoisin atau saus kacang manis. Selain pengunjung juga bisa menyantap sajian halal lainnya yaitu shuan yangrou (daging domba rebus) dan feiniu huoguo (sup daging sapi).

5 sense-scent
                Dupa adalah bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Beijing. Salah satu sudut Beijing yang kental dengan aroma tersebut adalah Jalan Guozijian.  Dalam perjalanan menuju Lama Temple, kuil penganut Budha Tibet di Beijing, aroma wangi cendana dari toko-toko dupa memenuhi udara. Aroma ini seakan membawa anda kepada sebuah rasa tenang dan damai.
               

               



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Amerika? bag.1

Modern vs Traditional Time

Google dan Universitas 2.0