Kembali ke Esensi Pendidikan Liberal Arts




"The first duty of a university is to teach wisdom, not a trade; character, not technicalities.”
 Winston Churchill (1874-1965)

Salah satu diskusi dan perdebatan dalam konvensi dosen ilmu hubungan internasional (HI) terakhir adalah terkait gelar kesarjanaan lulusan program studi HI. Apakah perlu gelar kesarjanaan khusus yang membedakannya dengan lulusan yang lain atau tidak. Hal ini didorong salah satunya oleh kebutuhan untuk menunjukkan kompetensi khusus yang dimiliki sehingga strategis dalam memperoleh pekerjaan. Bagi saya hal tersebut bukanlah hal yang esensial.  Saya pribadi sebenarnya tidak terlalu gundah ketika selama ini sulit mencari lowongan pekerjaan di koran edisi akhir pekan yang secara spesifik mencari lulusan HI. Karena bagi saya bukan itu esensi dari pendidikan HI atau pendidikan universitas secara umum. Pendidikan HI khususnya di tingkat sarjana menjadi bagian dari humanities atau ilmu kemanusiaan bersama dengan ilmu politik, filsafat, sastra, sosiologi, ekonomi, sejarah dan hukum mempunyai misi yang lebih tinggi daripada sekedar untuk mendapatkan pekerjaan demi sesuap nasi. HI adalah bagian dari pendidikan Liberal Arts. Misi ini termanifes dalam gelar berupa BA (Bachelor of Arts), MA (Master of Arts) yang disematkan pada lulusan HI dari banyak universitas di luar negeri.
Pendidikan Liberal Arts berbeda dengan pendidikan vocational yang memberikan ketrampilan khusus yang menyiapkan kita sebagai seorang professional dalam menyelesaikan pekerjaan baik di pemerintahan ataupun perusahaan. Pendidikan Liberal Arts adalah pendidikan yang menyiapkan kita menjadi manusia merdeka, menjadi manusia seutuhnya, dan menjadi anggota masyarakat demokratis. Robert M. Hutchins, mantan Presiden Universitas Chicago, menyatakan untuk menjadi manusia merdeka, satu-satunya cara adalah dididik untuk mampu berfikir; karena kemampuan berfikir adalah ukuran bagi kemerdekaan seseorang. Liberal Arts lebih menekankan kepada pengajaran perangkat belajar yang disebut Trivium; Gramatika, Logika dan Retorika.
Satu hal lagi yang menurut saya salah kaprah, yaitu anggapan umum yang menilai tingkat penyerapan kerja yang rendah dari lulusan HI adalah karena kurangnya penekanan pada spesialisasi. Sehingga saat ini banyak program stud menjejalkan mata kuliah dan pelatihan skill bagi mahasiswa sarjana dengan harapan mereka menjadi seorang spesialis. Kecenderungan seperti ini dan menghinggapi bukan hanya program studi HI telah lama dikritik juga oleh Pak Hutchins.  Beliau mengatakan bahwa saat ini semakin sering kita mendengar ungkapan: “Wah, saya tidak bisa komentar, ini kan diluar spesialisasi saya,” meskipun permasalahan yang dibicarakan sangat berkaitan dengan kelangsungan hidup masyarakat atau bangsa, seperti pendidikan, inflasi dan energi nuklir misalnya. Bangsa ini tidak membutuhkan banyak spesialis, tapi membutuhkan warga yang cukup melek informasi, cukup cerdas, dan cukup tertarik untuk menilai kebijakan yang mempengaruhi hidup mereka. Di sisi lain para spesialis semakin tidak mampu berkomunikasi dengan masyarakatnya karena bahasa dan bahasannya terlalu canggih. Pembicaraan yang hanya bisa dipahami antar para spesialis dalam bidang tersebut.
Banyaknya lulusan HI yang bekerja ‘tidak sesuai’ bidangnya pun menurut saya bukanlah kegagalan. Justru banyak teman saya yang tidak menjadi spesialis HI, tapi terus membawa semangat dan wawasan kritis ke-HI-an dalam profesi mereka yang beragam. Hal ini adalah sesuatu yang positif. Wawasan kritis tersebut menyumbang bagi pengembangan profesi dan sebaliknya tacit knowledge yang diperoleh dari pengalaman profesional juga semakin memperkaya kajian HI.
Kata liberal memang agak sensitif , khususnya bagi muslim. Tapi mengutip Syekh Hamza Yusuf, salah seorang pendiri Zaytuna College, sebuah kolej Liberal Arts Muslim  pertama di AS bahwa tradisi Islam berakar pada tradisi Liberal Arts, yang termasuk di dalamnya penekanan pada pengajaran komunikasi dan penguasaan bahasa. Tujuan pendidikan Islam adalah memberdayakan manusia agar mampu menggunakan intelek/nalarnya dan menjadi manusia yang lebih baik dengan perangkat-perangkat yang diajarkan.
Sangat penting untuk mengembalikan misi utama universitas khususnya HI ke jalur ini. Akan tetapi mungkin banyak pihak justru lebih senang ketika semakin sedikit warga masyarakat yang cerdas nalarnya dan fasih mengutarakan pendapatnya  karena hal tersebut akan mengancam eksistensi kepentingan material atau kekuasaan mereka. Wallahu a’lam.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengapa Amerika? bag.1

Menghidupkan Tradisi Skolastik Abad Pertengahan dalam Perkuliahan

Modern vs Traditional Time