Berdoa untuk Dunia
Saudaraku, sudahkah engkau sempatkan hari ini berdoa untuk perbaikan dunia?
Dunia setiap detik dimunculkan di depan mata kita melaui berbagi media. Segala ketidakberesan dan kekacauannya. Membuat diri kita semakin frustasi. Semakin banyak masalah dunia yang kita ketahui, semakin kita mengetahui betapa kita terlalu kecil untuk berdaya menyelesaikannya.
Jika dalam bahasa Stephen Covey, Lingkaran kepedulian kita semakin diperluas melalui media menjadi tak terhingga luasnya, dan lingkaran pengaruh kita semakin mengecil sebagai konsekuensi kefrustasian kita.
Tetapi ingatkah saudaraku, akan satu hal yang tanpa sadar kita punyai selama ini? Yang sebenarnya luar biasa dahsyat kemampuannya. Disebut-sebut sebagai senjatanya orang yang percaya, yaitu Doa.
Tanpa banyak berfikir dan kita sadari kita setiap saat berdoa untuk keselamatan dan kesejahteraan diri kita dan keluarga. Dan secara misterius pula, Tuhan mengabulkan dan menjawabnya. Mengapa pula kita tidak mencoba berdoa untuk sesuatu yang lebih besar daripada kita. berdoa untuk keselamatan lingkungan, untuk perdamaian dunia, untuk pelenyapan kemiskinan, terhapusnya kebodohan.
Ataukah kita sudah hilang keyakinan kita akan kekuatan Doa? Atau sudah lupa bagaimana caranya berdoa? Selama ini kita bedoa hanya ketika kegagalan dan ketakberdayaan menjelang. “Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, dan sekarang hanya bisa berdoa.” atau ucapan,”Saya pasrah tidak bisa apa-apa hanya bisa berdoa.” Mengapa berdoa sekarang menjadi “hanya”. Selalu muncul di akhir, sebagai pelarian bahwa kita kalah. Tidakkah kita sadari betapa kekuatannya? Tapi Saudaraku, engkau memang betul , kekuatannya hanya bisa kita rasakan bila kita sadari betapa lemahnya diri kita.
Doa-doa telah membentuk dunia kita sekarang ini. Mungkin benar bahwa para pahlawan yang gugur berperan besar dalam tercapainya kemerdekaan kita. mungkin benar para ilmuwan yang menghasilkan ilmu dan pengetahuan yang memudahkan hidup kita. mungkin benar kerjakeras para saudagar yang melimpahi hidup kita dengan barang-barang yang berguna. Mungkin benar bahwa kebijaksanaan sang pemimpinlah yang memberi keamanan dan keadilan bagi kita.
Tapi ibarat betapa bagusnya rumah kita sekarang bukan hanya karena kerja keras para tukang batu, tukang kayu, mandor-mandor, pengaduk semen tapi bahwa rumah kita sudah dibayangkan, diukir dalam imajinasi, digambar dalam bentuk yang sempurna beberapa bulan sebelumnya tentunya tidak dapat kita pungkiri.
Dan sadarlah bahwa masa kini yang kita jalani sudah diimpikan dan diukir di atas sajadah-sajadah orang tua-orang tua kita, pendahulu-pendahulu kita yang khusyuk. Dengan sabar dalam diam dengan diiringi isakan-isakan yang tertahan senantiasa mengharapkan bagi kebaikan-kebaikan kehidupan generasi penerusnya. Bukan dengan gas air mata tapi dengan tatahan air mata, mereka menaklukan keberingasan dunia.
Kita tidak tahu secara pasti apakah usaha keras dengan tetesan keringat ataupun doa pendahulu kita yang sebenarnya lebih mampu “menggerakkan Tuhan”. Tapi satu hal yang kita yakin bahwa Tuhan mendengar keduanya. Dan bukankah Doa dinyatakan mampu mengubah takdir-Nya.
Mungkin ini saatnya, memulai perbaikan dunia dengan doa. Doa sebagai awal, iringan dan akhir perjalanan kita. Doa yang akan membentuk masa depan kita sebagai umat manusia. Doa yang melambungkan harapan-harapan besar bagi anak-cucu kita. doa yang mengukir sejarah masa depan. Membayangkan, mengimpikan, dan mengharapkan dunia yang lebih baik melalui sajadah-sajadah kita, mihrab, altar dan kuil-kuil kita. Doa yang kita suarakan melalui sutra-sutra kita, mushaf dan mitzvah kita, koan-koan, dupa-dupa dan lonceng-lonceng kita. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Iqbal, seorang filosof Bapak Bangsa Pakistan yaitu ketika kita bangkit dari berdoa dan mulai bergerak maka saat itulah Tuhan menjawab doa-doa kita.
Dunia setiap detik dimunculkan di depan mata kita melaui berbagi media. Segala ketidakberesan dan kekacauannya. Membuat diri kita semakin frustasi. Semakin banyak masalah dunia yang kita ketahui, semakin kita mengetahui betapa kita terlalu kecil untuk berdaya menyelesaikannya.
Jika dalam bahasa Stephen Covey, Lingkaran kepedulian kita semakin diperluas melalui media menjadi tak terhingga luasnya, dan lingkaran pengaruh kita semakin mengecil sebagai konsekuensi kefrustasian kita.
Tetapi ingatkah saudaraku, akan satu hal yang tanpa sadar kita punyai selama ini? Yang sebenarnya luar biasa dahsyat kemampuannya. Disebut-sebut sebagai senjatanya orang yang percaya, yaitu Doa.
Tanpa banyak berfikir dan kita sadari kita setiap saat berdoa untuk keselamatan dan kesejahteraan diri kita dan keluarga. Dan secara misterius pula, Tuhan mengabulkan dan menjawabnya. Mengapa pula kita tidak mencoba berdoa untuk sesuatu yang lebih besar daripada kita. berdoa untuk keselamatan lingkungan, untuk perdamaian dunia, untuk pelenyapan kemiskinan, terhapusnya kebodohan.
Ataukah kita sudah hilang keyakinan kita akan kekuatan Doa? Atau sudah lupa bagaimana caranya berdoa? Selama ini kita bedoa hanya ketika kegagalan dan ketakberdayaan menjelang. “Saya sudah berusaha semaksimal mungkin, dan sekarang hanya bisa berdoa.” atau ucapan,”Saya pasrah tidak bisa apa-apa hanya bisa berdoa.” Mengapa berdoa sekarang menjadi “hanya”. Selalu muncul di akhir, sebagai pelarian bahwa kita kalah. Tidakkah kita sadari betapa kekuatannya? Tapi Saudaraku, engkau memang betul , kekuatannya hanya bisa kita rasakan bila kita sadari betapa lemahnya diri kita.
Doa-doa telah membentuk dunia kita sekarang ini. Mungkin benar bahwa para pahlawan yang gugur berperan besar dalam tercapainya kemerdekaan kita. mungkin benar para ilmuwan yang menghasilkan ilmu dan pengetahuan yang memudahkan hidup kita. mungkin benar kerjakeras para saudagar yang melimpahi hidup kita dengan barang-barang yang berguna. Mungkin benar bahwa kebijaksanaan sang pemimpinlah yang memberi keamanan dan keadilan bagi kita.
Tapi ibarat betapa bagusnya rumah kita sekarang bukan hanya karena kerja keras para tukang batu, tukang kayu, mandor-mandor, pengaduk semen tapi bahwa rumah kita sudah dibayangkan, diukir dalam imajinasi, digambar dalam bentuk yang sempurna beberapa bulan sebelumnya tentunya tidak dapat kita pungkiri.
Dan sadarlah bahwa masa kini yang kita jalani sudah diimpikan dan diukir di atas sajadah-sajadah orang tua-orang tua kita, pendahulu-pendahulu kita yang khusyuk. Dengan sabar dalam diam dengan diiringi isakan-isakan yang tertahan senantiasa mengharapkan bagi kebaikan-kebaikan kehidupan generasi penerusnya. Bukan dengan gas air mata tapi dengan tatahan air mata, mereka menaklukan keberingasan dunia.
Kita tidak tahu secara pasti apakah usaha keras dengan tetesan keringat ataupun doa pendahulu kita yang sebenarnya lebih mampu “menggerakkan Tuhan”. Tapi satu hal yang kita yakin bahwa Tuhan mendengar keduanya. Dan bukankah Doa dinyatakan mampu mengubah takdir-Nya.
Mungkin ini saatnya, memulai perbaikan dunia dengan doa. Doa sebagai awal, iringan dan akhir perjalanan kita. Doa yang akan membentuk masa depan kita sebagai umat manusia. Doa yang melambungkan harapan-harapan besar bagi anak-cucu kita. doa yang mengukir sejarah masa depan. Membayangkan, mengimpikan, dan mengharapkan dunia yang lebih baik melalui sajadah-sajadah kita, mihrab, altar dan kuil-kuil kita. Doa yang kita suarakan melalui sutra-sutra kita, mushaf dan mitzvah kita, koan-koan, dupa-dupa dan lonceng-lonceng kita. Dan sebagaimana yang dikatakan oleh Iqbal, seorang filosof Bapak Bangsa Pakistan yaitu ketika kita bangkit dari berdoa dan mulai bergerak maka saat itulah Tuhan menjawab doa-doa kita.
Komentar