Nilai Sebuah Pekerjaan Kasar

“Matajuro Yagyu adalah anak dari keluarga ahli pedang ternama. Akan tetapi ayahnya menilai dia tidak berbakat. Didorong oleh tekadnya yang kuat, Matajuro pergi ke Gunung Futara untuk berguru pada Banzo, seorang yang juga dikenal sebagai ahli pedang. Awalnya Banzo pun menolaknya sebagai murid karena sangsi dengan bakatnya. Akan tetapi karena terkesan oleh tekad Matajuro yang begitu kuat, maka akhirnya Banzo pun meluluskan permohonan Matajuro.
Hari demi hari berlalu tetapi latihan pedang yang diharapkan Matajuro tak kunjung diterimanya.
Sehari-hari dia harus melakukan pekerjaan seperti memasak untuk gurunya, mencuci peralatan dapur, merapikan tempat tidur, membersihkan tempat sembahyang dan merawat kebun. Sedikitpun tidak pernah dia menyentuh pedang dan berlatih seni pedang. Hal ini berlangsung hingga tahun ketiga dia menjadi murid Banzo.
Suatu ketika ketika Matajuro sedang memasak, tiba-tiba Banzo datang dan melancarkan serangan dengan pedang kayu. Demikian pula hari berikutnya. Karena hal ini berlangsung setiap hari pada waktu yang tidak disangka-sangka, secara perlahan Matajuro belajar untuk waspada dan menangkis serangan gurunya. Tidak siang tidak malam pedang gurunya selalu mengancam.
Dari proses tersebut, kemampuan Matajuro berkembang pesat. Sejarah pun kemudian mencatat Matajuro Yagyu sebagai salah seorang Master dalam ilmu pedang.”

Dalam khazanah pendidikan tradisional, pekerjaan rutin bersifat dometik mempunyai tempat yang sangat signifikan dalam proses pencapaian tujuan pendidikan. Bahkan dalam disiplin ilmu keagamaan dan spiritual hal tersebut menjadi bagian dari kurikulum. Dalam film-film kungfu sering secara romantik dikisahkan bagaimana sang protagonis yang mampu menguasai jurus pamungkas justru muncul dari orang-orang yang biasanya di dapur atau di kebun dan jarang dari murid yang digadang-gadang (lihat film Jet Li “Tai Chi Master”). Dalam contoh yang lebih dekat pun kita bisa menyaksikan di pesantren-pesantren tradisional bagaimana seorang santri biasa terlibat dalam mengolah lahan pondok, mengelola urusan kegiatan domestik pondok. Pekerjaan-pekerjaan yang notabene pekerjaan kasar tersebut bukanlah sekedar pelengkap keseharian tapi menjadi bagian dari kurikulum. Pendidikan tradisional yang mencita-citakan terbangunnya manusia yang utuh menganggap pekerjaan ini merupakan jalan mencapai kesempurnaan seiring dengan latihan kognitif dan spekulatif. Kita akan mencoba memaknai bagaimana sebenarnya peran sebuah pekerjaan kasar dalam proses spiritual, menjadi manusia utuh.
Kehidupan modern telah menjauhkan diri kita dengan pekerjaan-pekerjaan semacam ini. Selain dikarenakan kemudahan-kemudahan teknologi juga karena kita belajar untuk menganggap rendah pekerjaan-pekerjaan kasar. Pendidikan modern telah membuat kita menilai lebih pekerjaan pekerjaan yang hanya melibatkan intelektualitas dan menganggap pekerjaan kasar sebagai sesuatu yang primitif. Pekerjaan yang melibatkan tangan dengan teknologi sederhana dinilai rendah dan hal ini termanifestasi dalam bagaimana kita memberi label “harga” terhadap pekerjaan semacam ini. Harga yang rendah biasa kita sematkan pada pekerjaan para petani yang mengolah tanahnya, nelayan yang mempertaruhkan nyawa mengarungi ganasnya samudera, pengrajin-pengrajin barang kebutuhan kita yang melakukannya dengan sedemikian tekun.
Sebagai ilustrasi bagaimana rendahnya apresiasi kita terhadap pekerjaan-pekerjaan kasar adalah turunnya pendapatan petani dalam beberapa dekade ini. Di buku Going Local oleh Michael Schuman disebutkan bahwa pada tahun 1910 untuk tiap dollar yang orang Amerika belanjakan untuk makanan, 41 % diterima petani dan 59 % diterima oleh para penjual bersama penyedia input usaha pertanian (perusahaan benih, pupuk, pestisida dll). Sekarang yang terjadi begitu bertolak belakang 9 % diterima petani, 24 % ke penyedia input, dan 67 % ke penjual.
Maka tidak mengherankan bagaimana kita berlomba-lomba dengan berbagai cara menembus dunia pendidikan karena dengan ini bisa membebaskan kita dari pekerjaan-pekerjaan kasar yang bergaji kecil. Kaum terpelajar tidak sudi lagi mengotori tangannya dengan kentalnya lumpur, tidak sudi melatih jari-jarinya untuk menghasilkan karya kerajinan yang kita butuhkan, tidak mau lagi melatih otot-ototnya untuk menarik jaring dan tali pancing.
Lalu apakah kita harus hidup dalam romantisme alam liar dimana tidak ada mesin atau mekanisasi? Ananda Coomarasmy yang dikutip oleh EF Schumacher dalam bukunya Small is Beautiful menyatakan ada perbedaan antara mesin dengan alat. “Alat tenun (tangan) permadani adalah alat, suatu perkakas untuk menegangkan benang secara terus menerus, dimana jari-jari tukang pintal akan merangkaikan lapisan-lapisan permadani. Sebaliknya alat tenun listrik adalah mesin dan artinya sebagai perusak kebudayaan karena mengerjakan pekerjaan yang seharusnya dikerjakan oleh manusia.” Lebih lanjut dalam buku yang sama ada mekanisasi yang mempertinggi ketrampilan dan memperbesar kekuatan manusia dengan alat dan bukan mekanisasi dengan mesin yang ujungnya menjadikan manusia menjadi budak yang melayani mesin tersebut.
Salah satu fungsi pekerjaan adalah untuk mengembangkan bakat dan ketrampilan manusia. Pekerjaan kasar dengan alat yang sederhana yang sering kita hina nyatanya lebih memungkinkan diri kita mencapai tujuan bekerja tersebut di atas. Menjadikan diri disiplin, berkembang secara menyeluruh baik segi fisik dan mental, mendorong kita untuk berkomunikasi dengan alam dan tidak memaksakan kehendak kita terhadap dengan alam. Pekerjaan yang kita sebut kasar ternyata lebih memungkinkan kita mencapai keselarasan dengan alam karena jelas kemampuan manusia secara optimum dengan dibantu alat-alat yang sederhana tidak akan mampu menghancurkan bumi sebagaimana alat-alat raksasa yang kita ciptakan selama ini. Sebagai ilustrasi adalah bagaimana orang-orang adat yang tinggal di hutan yang hanya mengambil hasil hutan untuk kebutuhan hidupnya dengan berburu dan meramu tidak akan mampu menghancurkan hutan sebagaimana pengusaha HPH lakukan peralatan-peralatan beratnya.
Pekerjaan-pekerjaan kasar ini juga mengurangi ketergantungan individu atau masyarakat terhadap pihak lain. Pekerjaan ini biasanya terkait langsung dengan proses produksi sebenarnya. Produksi pangan, sandang, papan dan kebutuhan lain yang memang benar-benar dibutuhkan. Ketika masyarakat mampu memproduksi barang-barang tersebut secara mandiri maka ketergantungannya terhadap pihak lain akan berkurang. Mungkin ini bisa menjelaskan mengapa Gandhi memilih hidup di desa dan memintal sendiri pakaiannya. Proses yang dilakukan secara kolektif oleh masyarakat India sehingga alat pemintal ini menjadi simbol yang diletakkan di tempat yang begitu mulia yaitu di bendera nasional India.
EF Schumacher menilai bahwa pekerjaan kasar yang melibatkan aktifitas fisik secara penuh lebih memungkinkan untuk terjaganya ikatan spiritual dalam diri manusia. Hal ini berlawanan dengan pendapat umumnya orang yang berfikir dengan adanya mesin yang menggantikan kerja manusia secara fisik maka manusia akan mempunyai energi dan waktu yang lebih untuk berkonsentrasi pada hal yang spiritual. Bagi Schumacher pekerjaan fisik yang layak meskipun sangat menguras energi fisik tetapi tidak menyerap energi mental dalam jumlah yang terlalu banyak. Akan tetapi pekerjaan yang melulu menguras mental justru demikian. Hal ini membuat tidak ada tersisa perhatian terhadap perihal spiritual yang benar-benar berarti. Seorang petani pekerja keras akan lebih mudah memusatkan dirinya terhadap perihal spiritual dan ketuhanan daripada seorang pekerja kantoran yang serius.
Sudah saatnya kita mulai menghargai lagi pekerjaan seperti ini yang pada hakikatnya memperkaya diri kita sebagai manusia. Tatkala Musashi dalam salah satu episode perjalanannya di Jalan Pedang memutuskan untuk sementara waktu meletakkan pedangnya dan mengangkat cangkul, mencoba mendisiplinkan diri, mengolah tanah yang tidak bersahabat sehingga dapat meninggalkan sesuatu yang bermanfaat bagi generasi berikutnya. Tatkala dia mengadakan perubahan yang radikal dengan meninggalkan pola hidup ronin yang hidup seperti pengelana Zen yang menggantungkan hidupnya dari bantuan orang lain dan mulai hidup dari tangannya sendiri. Pada saat itulah dia mengetahui hal yang sudah diduganya sejak lama, yaitu hanya orang yang menanam padi dan sayuran dengan tangannya sendiri yang akan mengetahui betapa sucinya padi dan sayuran tersebut.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menghidupkan Tradisi Skolastik Abad Pertengahan dalam Perkuliahan

Mengapa Amerika? bag.1

Google dan Universitas 2.0