Hutang Kaum Terpelajar_bagian 1

Hutang kita sebagai kaum terpelajar…



(setelah membaca Small is Beautiful, EF Schumacher)



,”Saya bertengger di punggung seseorang, mencekiknya dan memaksanya menggendong saya-sambil meyakinkan diri saya sendiri bahwa saya sangat kasihan kepadanya, dan mudah-mudahan dapat meringankan bebannya-dengan cara apapun, kecuali turun dari punggungnya.” (Leo Tolstoy)


Seketika tercekik tercekat mendengar kutipan tersebut, kutipan yang melukiskan diri kita sebagai orang-orang yang menyatakan diri kita terpelajar. Simpati dan retorika kita utarakan sebagai wujud kepedulian kita terhadap orang-orang di bawah kita tetapi satu hal yang tetap kita pertahankan yaitu agar mereka tetap di bawah kita. Proyek Bantuan Langsung Tunai (BLT) menunjukkan persis sikap mental tersebut di atas. Seakan begitu mulia kita memberikan uang tunai kepada mereka orang miskin, tapi jelas BLT tidak akan membuat mereka bangkit dari keterpurukan, bangkit dan menurunkan kita dari gendongannya.


Kita menilai begitu tinggi dan pujian bagi kaum terpelajar yang membela orang miskin padahal hal tersebut sebenarnya sudah selayaknya dilakukan. Sebagai analogi, pada hakikatnya tidak perlu ada pujian bagi anak yang berbakti kepada orang tuanya karena berbakti sudah merupakan tugas bagi anak atau prasyarat bagi eksistensi seorang anak. Sebagaimana Lao Tzu mengatakan bahwa ketika zaman memuji anak yang berbakti pada orang tuanya, memuji istri yang taat kepada suaminya maka zaman itu merupakan zaman yang sedang mengalami krisis. Pada zaman yang “normal“ fenomena anak berbakti merupakan fenomena yang biasa sehingga tidak terpikir oleh khalayak bahwa hal tersebut patut dipuji. Lalu mengapa kaum terpelajar tidak perlu dipuji sedemikian rupa?Karena pada dasarnya dia sebenarnya berhutang pada orang-orang di bawahnya.


Schumacher bercerita kalau tidak salah orang Cina lah yang membuat perhitungan pada sebelum Perang Dunia kedua bahwa untuk menunjang satu orang belajar di universitas selama setahun diperlukan hasil kerja 30 orang petani. Kalau orang itu kuliah selama 5 tahun maka diperlukan 30 orang petani bekerja selama 5 tahun atau bisa disebut 150 tahunkerja petani (30 kerja petani X 5 tahun = 150 tahunkerja). Jelas kalau sekarang mungkin akan muncul angka yang lebih fantastis. Biaya pendidikan semakin tinggi sedangkan nilai hasil kerja petani semakin menurun.


Bagaimana kita mempertanggungjawabkan hal ini? Hal yang seharusnya membuat kita merenung tentang tujuan kita menjadi kaum terpelajar. Apakah sebagai paspor kita untuk mendapat hak-hak yang istimewa: membawa orang muda seperti kita ke pusat ekonomi dan kekuasaan di kota yang sudah penuh dengan orang-orang terpelajar pemegang hak istimewa yang senantiasa menjaga agar hak-haknya tidak terganggu oleh rakyat jelata yang tidak berpendidikan? Ataukah kita menjadi kaum terpelajar sebagai wujud kewajiban suci kita mengabdi kepada rakyat?

Menjadi terpelajar berarti memikul tanggungjawab.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menghidupkan Tradisi Skolastik Abad Pertengahan dalam Perkuliahan

Mengapa Amerika? bag.1

Google dan Universitas 2.0