Manusia Cerdas
Tatkala seorang ibu di lingkungan rumah kami mengatakan,”Kalau anak perempuan mirip dengan ayahnya, biasanya dia cerdas.”Sontak saja bibir kami mengucapkan amiin…ya kebetulan memang banyak orang lain juga mengatakan bahwa wajah Sofie mirip sekali dengan Ayahnya. Tak berhenti kami memanjatkan doa agar harapan bahwa anak kami akan menjadi orang yang cerdas terkabul. Akan tetapi hal ini juga membuat saya berfikir, cerdas itu apa dan seperti apa manusia cerdas. Jelas kami khawatir jika doa kami terkabul tetapi sebenarnya cerdas itu bukanlah kualitas yang ingin kami saksikan terdapat pada anak kami, pasti kami akan sangat menyesal mengucapkan amiin. Karena itu penting untuk bisa memahami apa definisi cerdas sebelum ucapan-ucapan amiin berikutnya terucap.
Istilah cerdas muncul dalam kehidupan kita di ruang kelas di sekolah. Bahwa kita anak-anak yang tidak tahu apa-apa, dan merasa bahwa yang membedakan diriku dengan Deki, atau Heri temanku adalah rambutku yang keriting, selain itu kami merasa tidak berbeda. Akan tetapi guru kami sering membedakan kami sebagai kelompok yang cerdas dan tidak cerdas tatkala ulangan selesai dinilai olehnya. Bagi kami yang mendapat nilai bagus disebutnya anak cerdas, dan yang buruk nilainya disebut tidak cerdas dan lebih banyak lagi yang berada di ruang antara definisi cerdas dan tidak cerdas. Tentu memang atribut cerdas adalah atribut yang sangat istimewa yang hanya sedikit yang pernah menyandangnya. Sebagian besar hanya kadang beruntung mencapai taraf hampir cerdas. Atribut cerdas dan tidak cerdas semakin sering terdengar dan didengungkan tiap akhir semester, tatkala pembagian raport. Setiap momen ini adalah momen emas bagi orang cerdas karena disini dia akan memperoleh atribut lainnya yaitu populer dan tentunya mendapat piagam yang bisa dibanggakan dan diandalkan untuk mencapai masa depan. Mmmmh…jadi cerdas adalah berhasil sukses di dunia sekolahan. Kalau yang ini sih, orang tua mana yang tidak mau anaknya seperti ini. Maka amiin.. semoga Sofie bisa menjadi manusia cerdas. Sekarang yang menjadi kekhawatiran justru mampukah orang tuanya menyekolahkannya? Dihadapkan dengan biaya sekolah yang semakin melangit, jadi keder juga ketika mendengar perkataan orang bahwa anak kami cerdas. Jangan-jangan ketika nantinya ucapan dan ramalan orang-orang tidak terkabul, muncul lagi perkataan,”Anaknya sebenarnya cerdas, tapi masalahnya karena orang tuanya miskin.” Nah lho…
Akan tetapi semakin hari semakin santer kita dengar keluhan-keluhan dan kritikan para kritikus pendidikan terkait dengan perdebatan manusia cerdas ini. Fenomena-fenomena orang sukses dari kalangan yang sudah “dikutuk” sebagai orang tidak cerdas menyadarkan mereka bahwa sekolah tidak mampu menciptakan manusia cerdas. Weleh…weleh apalagi ini? Jadi manusia cerdas menurut mereka seperti apa? Menurut mereka manusia cerdas yang dihasilkan sekolah tidaklah komplit, tidak punya kreatifitas, tidak mampu menjadi orang yang tahan banting yang menjadi syarat sebagai orang sukses. Orang-orang yang sukses inilah yang sebenarnya manusia cerdas menurut mereka, dan bukanlah orang-orang jebolan sekolah yang hebat yang cuma jadi kuli bagi orang-orang sukses. Kalau begini jelas ini yang kami mau…untuk apa cerdas kalau cuma di sekolah. Kami jelas ingin Sofie menjadi manusia cerdas seperti yang dikatakan para ahli tersebut. Untuk kesekian kalinya, kami ucapkan Amiin… ya Allah.
Zaman semakin Edan kata para pujangga, dan para agamawan semakin gelisah. Negara semakin kacau padahal dua kaum cerdas yang berbeda sedang mengalami masa keemasan. Para kaum cerdas sekolahan di puncak-puncak kekuasaan dan kaum cerdas yang sukses di puncak-puncak ekonomi. Akan tetapi mengapa dunia semakin amburadul. Kaum agamawan menuding justru karena orang-orang cerdas itulah kondisi semakin rusak. Orang-orang cerdas itulah yang sekarang menjadi maling pundi-pundi harta rakyat, berbuat kerusakan terhadap ibu pertiwi, menyengsarakan rakyat kebanyakan. Wow…kalau begini jelas seperti yang kami khawatirkan. Tidak ingin Sofie menjadi biang kerusakan di muka bumi. Meskipun begitu, setahu kami cerdas adalah suatu kualitas manusia yang bermakna positif. Pasti tidak betul atribut-atribut yang dilekatkan pada manusia cerdas tersebut di atas. Atau jangan-jangan memang kita sebagai umat manusia sedang mengalami penurunan kualitas secara kolektif.
Mungkin perlu kami menengok kearifan tradisional mengenai hal ini. Apa yang mereka definisikan dengan kata cerdas, siapa yang disebut sebagai manusia cerdas. Muhammad SAW pernah berujar, “ manusia yang cerdas adalah manusia yang paling banyak mengingat mati.” Hmm… jangan-jangan ini hanya ucapan konyol para kaum agamawan dan spiritualis. Ungkapan-ungkapan yang benar tak terbantahkan tapi tidaklah bermakna dan praktis dalam kehidupan sebenarnya. Atau hanya ungkapan orang-orang yang kalah dalam peperangan di dunia yang ganas ini. Ok, mari kita coba dulu letakkan prasangka-prasangka tersebut dan mencoba memahami apa makna dari ucapan tersebut.
Mati adalah pembatas kehidupan dunia. Banyak mengingat mati artinya mengetahui tentang adanya batas dan kesementaraan. Dengan mengetahui keterbatasan, kita bisa mengetahui bagaimana selayaknya berperilaku di dunia. Dengan kata lain, mengingat mati akan memberi pedoman bagaimana hidup di dunia ini. Semakin banyak mengingat mati semakin jelas dan terang bagaimana harusnya hidup di dunia. Ijinkan saya untuk membahas hal ini dari sudut yang lain dari biasa. Saya akan membahas mengenai keterbatasan dan bagaimana kita telah mengambil langkah yang bertentangan dengan hal tersebut dalam kehidupan modern ini.
Dunia ini adalah dunia yang terbatas, seluas-luasnya alam semesta pastilah ada batasnya. Perilaku kita ternyata tidak menunjukkan kesadaran tersebut. Kita menguras kekayaan alam yang tak tergantikan dengan cara yang serakah. Dengan alasan bahwa itulah bukti tingkat kemakmuran. Semakin tinggi konsumsi kita semakin makmurlah kita. Kita diajarkan bagaimana menghitung kemakmuran dari tingkat konsumsi, kita menggolongkan masyarakat menjadi miskin, kaya dan seterusnya dengan melihat tingkat konsumsinya. Dengan pemahaman ini, maka tidak ada cara lain untuk mencapai pembangunan, kemakmuran masyarakat, kemakmuran sebuah Negara kecuali dengan cara bagaimana menggenjot tingkat konsumsi. Ciptakanlah barang sebanyak-banyaknya agar kemudian bisa dikonsumsi semua manusia yang hidup disini. Produksi sebanyak-banyaknya karena sumber daya alam kita masih melimpah. Saat ini bukan saatnya untuk melestarikan, berhemat karena tingkat konsumsi dunia masih rendah. Hanya dengan konsumsi yang tinggi maka kepuasan, kemakmuran dan ujungnya kebahagiaan akan tercapai.
Pola semacam ini jelas merupakan hal yang aneh dan absurd bagi orang-orang yang masih memegang teguh ajaran tradisional. Salah satunya, Budha mengajarkan bagaimana caranya untuk mencapai kepuasan yang maksimum dengan pola konsumsi yang optimal. Sedangkan ilmu ekonomi modern mengajarkan dengan cara mencapai konsumsi maksimum dengan produksi yang optimal. Artinya dalam kehidupan modern pemilikan barang, pemanfaatan barang atau konsumsi adalah satu-satunya tujuan berekonomi. Efeknya kita mencari segala macam cara berproduksi agar bisa mencapai taraf konsumsi yang maksimal karena hanya dengan cara ini kepuasan dan kemakmuran dicapai. Produksi yang tidak mengetahui batas mana sumber daya yang dapat diperbaharukan dan yang tidak, yang penting adalah tercapainya konsumsi yang maksimal.
Konsumsi, yang dalam pengetahuan tradisional sebagai sesuatu yang harusnya dikendalikan, diatur sedemikian rupa justru dalam kesadaran manusia modern menjadi tolok ukur yang dikejar. Puasa, berhemat, bersedekah (menyerahkan kepada orang lain kesempatan diri untuk mengkonsumsi) menjadi hal yang basi dan tidak bermakna bagi orang modern. Bagi orang muslim, harta yang benar-benar dimiliki bukanlah harta yang dia simpan dan dikonsumsi akan tetapi harta yang disedekahkan, diinfaqkan kepada orang lain atau kepentingan umum. Harta inilah yang sebenarnya ia miliki. Harta yang dia simpan adalah harta milik anak turunannya. Jadi menjadi tidak masuk akal bagi seorang muslim ketika dia menghabiskan segala sumber daya yang ia miliki, memproduksi semakin banyak barang untuk mengkonsumsi lebih banyak barang lagi. Sebuah perilaku yang tidak cerdas mengejar sesuatu yang ujungnya hanya jadi sampah dan ampas.
Pola konsumsi yang optimal- yang menghasilkan kepuasan manusia yang tinggi dengan tingkat konsumsi yang relatif rendah- adalah perilaku yang memahami akan keterbatasan. Memahami bahwa dunia ini sangat terbatas akan sumber daya maka dengan ini pasti dia berusaha bagaimana caranya untuk menghemat, memanfaatkan sebaik mungkin sesuai dengan hakikat kebutuhannya dan bukan keinginannya. Dia akan berupaya menghemat dan melestarikannya. Sebuah ketololan jika kita menghabiskan sesuatu yang tidak bisa kita ciptakan, yaitu sumber daya alam tak terbaharukan yang merupakan karunia Tuhan. Sebuah tindakan yang tidak cerdas.
Perilaku yang memahami keterbatasan adalah perilaku yang cerdas. Dan sebagai simbol puncak dari keterbatasan adalah kematian. Mungkin disinilah makna batin dari ucapan nabi yang mulia bahwa orang yang cerdas adalah orang yang banyak mengingat mati. Semoga ikhtiar memaknai ini merupakan doa bagi anak kami, Sofie. Sebuah harapan agar anak kami tumbuh menjadi manusia yang cerdas yang sebenar-benar cerdas. Lalu bagaimana ikhtiarmu? Bagaimana dirimu memaknai manusia cerdas? Dan lebih penting dari itu, bagaimana dirimu berperilaku cerdas?
Komentar