Hutang kaum terpelajar_bagian 2
“ Datangilah orang-orang yang sedang bekerja, perhatikan dengan seksama. Kemudian pulanglah dan rumuskan dalam asas dan teori untuk engkau bawa kembali kepada mereka. Umumnya mereka bekerja hanya dengan landasan pengalaman dan kebiasaan, maka diharapkan dengan asas dan teori yang engkau rumuskan dapat membuat kerja mereka menjadi lebih baik” (Mao tse tung)
Saudaraku, sudahkah dirimu memutuskan? Apakah apakah dirimu memilih memanfaatkan ilmumu sebagai paspor untuk memasuki ekslusifitas kaum-kaum istimewa di negeri ini, kaum yang mendapat segala macam kemudahan dan fasilitas ketika sebagian rakyatmu mengantri minyak. Ataukah memilih menyandang title kaum terpelajar sebagai jalan untuk membayar hutang-hutangmu pada rakyat, mengabdi pada rakyat, membaktikan ilmu dan dirimu untuk kebaikan masyarakat kebanyakan.
Pilihan ada di tanganmu- diriku tidak ada wewenang untuk mengajari siapapun bagaimana untuk hidup- dan jika pilihan kedua yang kupilih (pilihan benar yang kuharap engkau pilih) maka marilah bergabung dalam barisan dan mulai berfikir. Kuberikan salah satu masalah untuk engkau fikirkan.
Salah satu permasalahan yang mendera bangsa ini adalah pengangguran. Dari data BPS pengangguran bulan februari 2008 sekitar 9,3 juta jiwa dari warga yang berusia produktif. Memang pemerintah telah berupaya sedemikian rupa dan ada hasilnya juga. Angka tersebut adalah sekitar 10prosen lebih sedikit daripada angka pada bulan yang sama pada tahun sebelumnya. Meski begitu, tidak dapat kita pungkiri pasca kenaikan harga BBM jumlah pengangguran meroket lagi. Dari televisi kita melihat banyak nelayan yang urung melaut karena tidak mampu membeli solar, beberapa beralih profesi jadi pemulung, beberapa sudah berfikir untuk menjual kapalnya. Luar biasa tragis…
Pemerintah menyampaikan bahwa solusinya memang harus ada peningkatan investasi. Kita coba hitungan kasar saja misalnya dibutuhkan 300rb-saya ambil dari jumlah terendah untuk mengambil kredit di lembaga keuangan (pengalaman kerja di BMT dulu)- untuk menciptakan lapangan pekerjaan maka setidaknya kita membutuhkan investasi sebesar 300rb dikalikan 9,3 juta yang berjumlah 2790rb juta atau sekitar 2,79 triliun. Wah jumlah yang sangat besar..mampu tidak ya pemerintah? Mungkin tidak atau mungkin tidak mau. Memberi subsidi BBM saja terengah-engah apalagi untuk investasi. Tidak mau karena menganggap ada yang lebih penting misal pemilu atau karena melihat pengangguran itu justru diperlukan.
Ok, kita bahas dulu tentang persepsi ilmu ekonomi modern tentang pengangguran. Hal ini mungkin bisa menjelaskan bahwa sebenarnya bukannya pemerintah tidak mampu tapi sebenarnya tidak mau. Pengangguran dalam ilmu ekonomi modern dianggap sebagai necessary evil atau bisa diartikan sebagai sesuatu yang kita benci tetapi kita butuhkan. Mengapa begitu? Karena tingkat pengangguran tertentu perlu dipertahankan untuk menjaga tingkat harga pekerja di pasar dunia kerja. Secara sederhana dengan adanya jumlah pengangguran tertentu maka upah pekerja bisa ditekan seminimal mungkin karena tingginya persaingan pasar tenaga kerja. Ibaratnya pengusaha dengan mudah mencari tenaga kerja yang lebih murah yang pasti mau untuk dipekerjakan. Pekerja tidak punya banyak posisi tawar dihadapkan hal ini. Pilihan yang dihadapi terima saja upah rendahmu atau kugantikan dengan orang lain yang masih banyak (yang sementara ini menganggur) yang pasti mau bekerja menggantikanmu. Menurut saya pribadi pandangan ini adalah pandangan yang sangat jahat. Dan dari sini bisa kita tahu untuk kepentingan siapa sebenarnya ilmu ini dibuat yang digembar-gemborkan sebagai sesuatu yang ilmiah dan tidak memihak.
Anggaplah hal tersebut hanyalah prasagka buruk diri saya yang jahil. Kita akan fokuskan kembali ke investasi yang dibutuhkan untuk menciptakan lapangan kerja. Kita berprasangka baik saja bahwa pemerintah tidaklah mampu. Maka solusi yang mafhum diambil biasanya hutang atau mengundang investasi langsung asing kesini. Ternyata hal ini juga masih diperdebatkan. Ada yang menuduh pemerintah menjual Negara ke investasi asing dengan cara mengobral perusahaan Negara, ada yang membela bahwa ini cara terbaik membuka lapangan kerja. Selain itu, dibutuhkan pula investasi besar-besaran untuk membangun infrastruktur: listrik, jalan-jalan, pabrik-pabrik. Hal ini jelas tidak mudah dan butuh biaya besar. Tanpa infrastruktur tersebut tidak akan ada lapangan kerja dengan ini berarti investasi asing adalah hal yang sangat dibutuhkan untuk menciptakan lapangan pekerjaan.
Oleh karena mantra ini diakui sebagai sesuatu yang ampuh maka kita harus bermanis-manis agar investasi asing mau datang. Pertahankan upah yang rendah, perlonggar aturan mengenai perlindungan lingkungan, pajak yang rendah bahkan kadang digratiskan, bagi hasil yang menguntungkan bagi investor meskipun terpaksa merugi diri sendiri. Tapi bagaimana lagi, kalau tidak dilakukan investor lari, tidak mau masuk dan jelas nasib penguasa di pemilu yang akan diadakan sudah jelas. Saya jadi ingat waktu kerja di desa bagaimana telah terjadi pergeseran tentang siapa yang menjadi tokoh masyarakat. Sekarang yang disebut tokoh masyarakat adalah orang-orang yang mampu mensukseskan proposal-proposal, yang berhasil mengundang dana masuk ke desa. Terlepas misalnya dari partai atau perusahaan asal jalan desa di bisa diaspal hotmix. Dengan kata yang lebih kasar pemimpin yang kita pilih adalah pemimpin yang sukses menjadi pengemis ke Negara-negara maju.
Benar bahwa untuk infrastruktur yang lumayan besar dananya kita tidak mampu. Betul bahwa tidak ada kapasitas kita untuk membuat pabrik dengan teknologi yang mutakhir sehingga produk kita bisa bersaing di pasaran internasional. Tetapi tidak betul kalau untuk menciptakan lapangan pekerjaan haruslah mulai dengan infrastruktur, investasi besar-besaran. Menurut EF Schumacher, masalah pengangguran bukanlah melulu masalah investasi tetapi yang lebih utama adalah masalah bagaimana mendayagunakan kaum terpelajar , intelektual . Bagaimana kaum terpelajar ini mau berfikir dan bertindak memberi solusi bagi berjuta rakyatnya. Bukanlah jalan, listrik yang utama, tapi sumber daya yang kita punyai yaitu kaum terpelajar. Berabad-abad yang lalu, tidak ada listrik tapi Borobudur juga bisa berdiri, rakyat dapat mencukupi pangan dan sandangnya.
Coba bayangkan jika diri kita, beribu-ribu kaum terpelajar ini mau meluangkan waktu dan fikiran kita untuk memikirkan bagaimana agar rakyat kita bisa bekerja dan makan. Jelas bukan hanya agar rakyat bisa makan, tapi juga bisa bekerja dengan layak sesuai harkat martabatnya sebagai manusia. Kalau hanya makan sih jaman presiden Suharto pun bisa. Apakah ini sulit? Sebenarnya tidak, hanya butuh usaha yang keras dan cerdas. Bukanlah taraf hidup dan kemakmuran yang tinggi yang diharapkan mayoritas rakyat kita akan tetapi bagaimana mereka bisa bekerja dan mendapat hasil yang layak, ya betul sekedar layak.
Coba jika kita mempraktekkan apa yang diucapkan Mao tersebut di atas. Sarjana pertanian mau menyempatkan bagaimana petani bekerja kemudian berfikir dan mengemukaan solusi agar hasi lebih baik. Sarjana ekonomi menyempatkan ke pasar tradisional sekedar mengamati bagaimana para penjual tersebut bekerja. Mungkin dari sana muncul ide bagaimana mengelola secara lebih baik. Saya tidak berpretensi bahwa hal ini dapat dicapai dalam jangka waktu yang singkat. Tapi cobalah, kita menyempatkan untuk memperhatikan rakyat kita dan sedikit keringat dan konsentrasi semoga ada tawaran solusi. Tapi jelas kalau menyempatkan saja tidak mau, bagaimana akan bisa memberi solusi. Apalagi jika memperhatikan rakyat hanya sekedar memperhatikan rakyat dalam statistik.
Dengan gerakan yang sukarela dan spontan seperti ini akan banyak penghematan. Tidak perlu Bank Dunia ikut campur ngurusi kredit untuk petani dan pedagang kecil, ngurusi jamban orang dengan proyek MCK umumnya. Yang jelas-jelas uangnya merupakan hutang yang harus kita bayar.
Peran yang penting tetapi tidak langsung bagi kaum terpelajar adalah bagaimana cukup cerdas dalam membelanjakan uangnya. Pilihan-pilihan kita dalam berkonsumsi merupakan cermin seberapa cerdas diri kita. Cerdas bukan hanya bermakna rasional. Kita diajarkan ilmu ekonomi untuk menjadi orang yang rasional, bagaimana membelanjakan sesedikit mungkin untuk meraih kepuasan dalam bentuk konsumsi sebesar-besarnya. Menjadi rasional tidaklah cukup untuk disebut orang cerdas.
Sebagai contoh, tentang pilihan transportasi yang kita pakai. Jelas dalam kondisi yang sulit sekarang ini naik sepeda motor pribadi merupakan pilihan yang rasional. Harga BBM naik, ongkos transport naik, kredit sepeda motor mudah maka ya inilah yang lebih rasional. Betul rasional tapi tidak cerdas menurut saya. Dalam bahasa ekonomi ada istilah multiplier effect yang bisa diartikan pengaruh sebar. Penjelasannya seperti ini, uang yang kita belanjakan itu akan dipakai dan dikonsumsi orang lain, jika pihak yang memanfaatkan uang kita jumlahnya sedikit maka pengaruh sebarnya kecil dan sebaliknya jika banyak maka pengaruhnya besar. Perilaku cerdas dalam berkonsumsi adalah memperhatikan seberapa banyak orang yang akan mendapat manfaat atau menerima pengaruh sebar dari uang kita. Misal dengan pilihan sepeda motor sebagian uang kita lari ke pom bensin yang komponennya sedikit untuk gaji karyawan, perusahaan, tapi lebih banyak akan lari ke perusahaan minyak yang notabene asing. Uang kredit motor lari ke dealer, sebagian karyawan, dan sebagian besar jelas memberi keuntungan bagi perusahaan motor yang notabene asing juga. Tapi misal dengan kendaraan umum, sebagian untuk biaya bensin, sebagian untuk sopir yang umumnya nanti belanja ke pasar tradisional dst.
Belum ada penelitian yang detil untuk bisa membandingkan dua pilihan tadi tapi yang jelas kita perlu mulai berfikir akan dimanfaatkan untuk apakah uang kita ketika kita menyerahkan uang tsb sebagai ganti kita mengkonsumsi, hal yang sebenarnya diperintahkan agama kita. Sebagai seorang muslim kita akan ditanya di akhirat bagaimana kita membelanjakan harta kita. bukan hanya masalah halal-haram tapi juga seberapa besar kemanfaatan harta kita bagi orang lain. Sebuah langkah yang cerdas untuk bisa memilih pilihan konsumsi yang memberikan multiplier effect yang lebih bagi masyarakat kecil, yang butuh untuk menyambung hidupnya, menyambung hidup tetangganya. Pilihan konsumsi yang memberikan multiplier effect yang lebih bagi orang-orang lokal dan bukan perusahaan orang-orang kaya yang nun jauh disana yang kita tidak tahu kemana lagi keuntungan itu akan dipakainya.
Jelas, pilihan cerdas kadang tidaklah rasional dalam pandangan ilmu ekonomi modern. Karena hal tersebut butuh pengorbanan besar. Harus lewat gang-gang yang sempit, becek dan panas di pasar tradisional, barang-barang segar produksi lokal yang tidak bagus dipandang, harga yang kadang lebih mahal dibandingkan pilihan yang sangat rasional untuk belanja di mall yang sejuk, buah dan sayur yang bentuknya bagus dari luar , kadang lebih murah dengan kartu diskon dan doorprize atau hadiah undian. Tapi jelas tanpa hitungan yang njlimet pun kita tahu mana yang lebih bermanfaat bagi banyak orang, memberi pekerjaan dan penghasilan bagi petani-petani gurem dan bukan perusahaan pertanian, memberi keuntungan bagi pedagang untuk memberi makan keluarganya dan bukan keuntungan yang berlipat-lipat bagi pengusaha kelas kakap. Jelas dibutuhkan pengorbanan, tapi menurut saya pribadi inilah pilihan yang lebih cerdas. Pilihan yang harusnya diambil oleh kaum terpelajar.
Komentar