Demokrasi Langsung?mengapa tidak...

Demokrasi langsung? Bisa…

(Lanjutan dari Petani Yeoman dan Renungan Demokrasi Kita)

Pilar yang pertama dari demokrasi yang dibahas sebelumnya adalah authority (otoritas). Otoritas berarti kemampuan untuk mengatur. Demokrasi mengajarkan bahwa dalam proses pengambilan keputusan, orang atau pihak yang akan terkena dampak keputusan tersebut haruslah dilibatkan.

Menjadi masalah sekarang ini karena demokrasi terjebak dalam hal-hal prosedural. Adanya pemilu sudah dianggap cukup sebagai indikator bahwa demokrasi berjalan baik. Secara rutin kita memberikan suara kita setiap lima tahun kepada orang-orang yang kita percaya sebagai wakil kita hanya untuk kemudian melupakan diri kita dalam mengambil keputusan-keputusan penting. Kita tidak pernah diajak untuk berdiskusi mengenai hal-hal terkait kehidupan kita. Karena merasa sebagai wakil rakyat, sepertinya menganggap sudah tahu pasti bagaimana perasaan dan kemauan rakyat. Mengapa hanya mau jadi wakil ketika mengambil keputusan dan tidak mau mengambil peran sebagai wakil ketika menghadapi konsekuensi keputusan tersebut. Alangkah indahnya jika para wakil kita bersedia dengan sukarela mewakili penderitaan kita terkena himpitan kenaikan harga BBM. Pasti hidup akan menjadi lebih mudah.

Secara teoritis dinyatakan bahwa demokrasi pastilah memerlukan sistem perwakilan. Tidak realistis mengharapkan demokrasi langsung seperti waktu jaman Yunani dahulu dimana rakyat masih sedikit. Mungkin benar kalau seideal jaman yunani kuno pasti tidak realistis untuk dilaksanakan. Akan tetapi dengan peralatan yang kita punyai sebenarnya memungkinkan agar semakin banyak warga masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan, terlibat dalam lebih banyak permasalahan. Dan tidak melulu hanya masalah referendum terkait dengan perubahan asas negara.

Pola-pola pooling, survey yang dilakukan selama ini membuktikan bahwa itu mungkin. Tentu bukan hanya sekedar survey kecenderungan pemilih atau trend masyarakat. Tapi betul-betul masyarakat punya wewenang lebih untuk memutuskan. Bagaimana kita membuat sebuah sistem informasi yang memungkinkan kita sebagai warga negara mengakses informasi penting terkait dengan kebijakan yang akan dikeluarkan dan kemudian terlibat aktif untuk memutuskan.

E-government adalah ide yang menarik jika dikembangkan dengan lebih baik. Idealnya, e-government bukanlah hanya sekedar website yang menampilkan informasi seakan-akan menawarkan barang. Tapi betul-betul sebagai portal bagi masyarakat untuk mengakses informasi. Bukan hanya kotak pos dan sms ke presiden yang seakan-akan kita hanya ingin pendapat kita didengar. Kita tidak ingin hanya didengar tapi kita ingin bahwa kitalah yang memutuskan. Sementara ini seakan-akan kita abdi kerajaan yang memohon simpati dan kebijaksanaan para pamong dan raja.

Semuanya jelas bertahap, jika belum realistis dilakukan secara nasional sebenarnya saat ini sudah memungkinkan untuk dilakukan di tingkat kabupaten atau kota. Saya membayangkan bahwa suatu saat, ketika kita mendapat KTP, kita juga mendapat ID email resmi yang lewat sini secara formal kita dapat memberikan opini dan suara. Perpustakaan menjadi pusat kegiatan masyarakat untuk mengakses informasi terkait dengan kotanya. Para anggota dewan secara rutin menulis dan mempromosikan ide-ide lewat saluran informasi tersebut. Sekali lagi yang kita butuhkan tidaklah hanya didengar aspirasi tapi menjadi warga masyarakat yang aktif, cerdas dan punya kapasitas untuk mengambil keputusan. Disinilah politik sebagai mekanisme pengambilan keputusan publik dan bukan lobi-lobi kotor di hotel-hotel.

Apakah hal ini butuh dana yang besar yang akan menguras anggaran kita? Kalau ini dimaknai sebagai suatu proyek yang ditenderkan pastilah hanya akan menghamburkan banyak uang. Sebenarnya tidak mahal, cukup akses informasi dengan internet di perpustakaan umum. Masalah skill? Pasti butuh pelatihan yang berdana besar agar kesempatan ini tidak bergeser menjadi demokrasinya ”orang-orang berdasi”. Betul butuh pelatihan yang masif tapi tidak perlu tender dan biaya yang banyak. Dengan syarat kita membangun pilar demokrasi yang kedua yaitu responsibility (tanggungjawab). Menjadi tanggungjawab setiap orang untuk berbagi ilmu dan pengetahuan tentang hal ini. Saya membayangkan anak-anak SMP bersedia menyediakan waktunya masing-masing seorang selama 2 jam seminggu untuk mengajari kakek atau petani di perpustakaan umum untuk sekedar berkorespondensi dengan e-mail. Tidak perlu seorang ahli untuk mengajari hal tersebut, karena tidak hal yang rumit yang diajarkan. Hanya sekedar bisa menjadi orang yang bisa ikut memutuskan masa depan masyarakatnya.

Muhammad Sigit Andhi Rahman

Seorang ayah dari bayi kecil bernama Sofie

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menghidupkan Tradisi Skolastik Abad Pertengahan dalam Perkuliahan

Mengapa Amerika? bag.1

Google dan Universitas 2.0