penghidupan yang benar_bagian 1
Bekerja dalam rangka penghidupan sering kali kita lakukan begitu saja tanpa sebuah perenungan yang mendalam. Bahwa meniatkan bekerja untuk ibadah dan mensyukuri hasil yang didapat merupakan sebuah hal yang besar tapi terkadang belum cukup. Ada yang salah dalam pemahaman kita tentang bekerja.
Kalau kita amati, bagaimana kita berjibaku membanting tulang senin sampai jumat hanya untuk membeli waktu sabtu dan minggu. Artinya kita diajarkan bekerja begitu keras karena hanya dengan cara inilah kita bisa mempunyai cukup uang sehingga kita tidak perlu kerja di akhir pekan. Seorang nelayan desa yang sederhana mencukupkan usahanya dalam bekerja hanya sebatas untuk dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Kemudian sebagian dari waktunya dia curahkan untuk bersantai, bercanda dengan anak-anaknya sembari tak lupa dalam melakukan ini semua diniatkan untuk melaksanakan kewajibannya yaitu mendidik anak-anaknya. Hal ini cukup mengherankan bagi seseorang yang mengaku cukup terdidik. Dia akan berkata,”Bapak, jika Anda mau bekerja lebih keras menghabiskan waktu lebih banyak untuk mencari ikan, pasti Bapak akan mendapat uang lebih banyak.”
“Dan kemudian dengan uang itu , Anda bisa membeli lebih banyak barang, menyekolahkan anak Anda setinggi-tingginya dengan pendidikan yang bermutu, dan jika anda lelah dengan semua itu anda bisa menyisihkan waktu untuk berlibur bersama keluarga. Hal ini semua tidak mungkin terjadi kalau bapak tidak punya uang.”
Bagi nelayan yang sederhana gagasan tersebut cukup absurd, untuk apa repot-repot berputar-putar untuk mendapat hal yang ada di depan mata. Menghabiskan waktu untuk bekerja kemudian membelanjakan untuk membeli kesenangan-kesenangan, waktu luang bersama, pendidikan bagi anak. Padahal hal tersebut sudah dia punyai dalam kondisi yang ada.
Bukankah kita seringkali berfikir seperti orang modern terdidik di atas, bekerja keras dari pagi hingga malam agar dapat punya cukup uang untuk membayar pengasuh bayi kita, menyekolahkan ke sekolah bermutu yang mahal. Bukankah mendidik anak itu kewajiban kita sebagai orang tua? Kita tidak diperintahkan oleh agama kita untuk menyekolahkan anak kita, tapi mendidiknya. Dan jelas jika yang dimaksud adalah mendidiknya berarti menghabiskan waktu bersamanya, belajar bersamanya, merasakan perjuangan mencari jawaban sebuah keingintahuan bersamanya. Ya betul bersama anak-anak kita. apakah itu namanya mendidik jika hanya menyempatkan satu dua jam untuk melihat PRnya, mengecek raportnya.
Tentang waktu luang, bagaimana kita bekerja sekedar untuk merasakan kesenangan kebahagiaan ketika akhir pekan, ketika liburan. Mengapa bekerja dan bersenang-senang merupakan hal yang terpisah dan kontradiktif.
L alu apakah yang dinamakan bekerja itu? Bekerja yang benar dengan kata lain penghidupan yang benar? Ilmu ekonomi kita tidak bisa menjawab hal tersebut. Mungkin kita perlu mencari jawaban di luar yang biasa diajarkan.
Kalau kita amati, bagaimana kita berjibaku membanting tulang senin sampai jumat hanya untuk membeli waktu sabtu dan minggu. Artinya kita diajarkan bekerja begitu keras karena hanya dengan cara inilah kita bisa mempunyai cukup uang sehingga kita tidak perlu kerja di akhir pekan. Seorang nelayan desa yang sederhana mencukupkan usahanya dalam bekerja hanya sebatas untuk dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Kemudian sebagian dari waktunya dia curahkan untuk bersantai, bercanda dengan anak-anaknya sembari tak lupa dalam melakukan ini semua diniatkan untuk melaksanakan kewajibannya yaitu mendidik anak-anaknya. Hal ini cukup mengherankan bagi seseorang yang mengaku cukup terdidik. Dia akan berkata,”Bapak, jika Anda mau bekerja lebih keras menghabiskan waktu lebih banyak untuk mencari ikan, pasti Bapak akan mendapat uang lebih banyak.”
“Dan kemudian dengan uang itu , Anda bisa membeli lebih banyak barang, menyekolahkan anak Anda setinggi-tingginya dengan pendidikan yang bermutu, dan jika anda lelah dengan semua itu anda bisa menyisihkan waktu untuk berlibur bersama keluarga. Hal ini semua tidak mungkin terjadi kalau bapak tidak punya uang.”
Bagi nelayan yang sederhana gagasan tersebut cukup absurd, untuk apa repot-repot berputar-putar untuk mendapat hal yang ada di depan mata. Menghabiskan waktu untuk bekerja kemudian membelanjakan untuk membeli kesenangan-kesenangan, waktu luang bersama, pendidikan bagi anak. Padahal hal tersebut sudah dia punyai dalam kondisi yang ada.
Bukankah kita seringkali berfikir seperti orang modern terdidik di atas, bekerja keras dari pagi hingga malam agar dapat punya cukup uang untuk membayar pengasuh bayi kita, menyekolahkan ke sekolah bermutu yang mahal. Bukankah mendidik anak itu kewajiban kita sebagai orang tua? Kita tidak diperintahkan oleh agama kita untuk menyekolahkan anak kita, tapi mendidiknya. Dan jelas jika yang dimaksud adalah mendidiknya berarti menghabiskan waktu bersamanya, belajar bersamanya, merasakan perjuangan mencari jawaban sebuah keingintahuan bersamanya. Ya betul bersama anak-anak kita. apakah itu namanya mendidik jika hanya menyempatkan satu dua jam untuk melihat PRnya, mengecek raportnya.
Tentang waktu luang, bagaimana kita bekerja sekedar untuk merasakan kesenangan kebahagiaan ketika akhir pekan, ketika liburan. Mengapa bekerja dan bersenang-senang merupakan hal yang terpisah dan kontradiktif.
L alu apakah yang dinamakan bekerja itu? Bekerja yang benar dengan kata lain penghidupan yang benar? Ilmu ekonomi kita tidak bisa menjawab hal tersebut. Mungkin kita perlu mencari jawaban di luar yang biasa diajarkan.
Komentar