Pertanyaan tentang Poligami
Saat itu hari sabtu, saya menyempatkan untuk mencuci celana lampin Sofie yang terkena kotorannya. Betapa luar biasa perkembangan makhluk Allah ini, Sofie sudah hampir 7 bulan dan kotorannya sudah mulai mengeras seperti orang dewasa (hehe maaf tidak bermaksud jorok). Tidak mudah membersihkan dengan sabun mandi tapi jelas memang telah terbukti sabun mandi lebih baik daripada yang lainnya. Selain itu sabun mandi lebih ramah lingkungan daripada deterjen. Lebih parah lagi kalau memakai popok yang sekali pakai, berapa pohon yang harus ditebang untuk membuatnya dan belum lagi sampahnya. Memang kami belum bisa melepaskan diri dari penggunaan popok sekali pakai yang tidak ramah lingkungan ini tapi akan sangat baik jika kita bisa menguranginya.
Tapi kesempatan ini bukan saatnya untuk membicarakan hal tersebut. Ketika itu terbersit dalam pikiranku ,”Wah bagaimana kalau punya dua anak atau lebih yang umurnya tidak terpaut jauh, betapa sibuk mencucinya, belum lagi pekerjaan rumah tangga lainnnya memandikan, mengasuh, menyusui dll.” Pikiran ini muncul karena berapa hari yang lalu teman perempuan istri saya mengeluh karena suaminya sudah ngebet ingin punya anak lagi padahal umur anaknya belum selisih jauh daripada Sofie. Pikirku,“Pasti suaminya tidak pernah ngurusin e-eknya anak-anak sehingga maklum minta enaknya saja pengin anak lagi.” Pikiranku pun berlanjut ke persoalan poligami. Menurut saya satu hal yang tidak pernah disebut-sebut dalam perdebatan poligami adalah masalah keadilan dalam urusan mengurus rumah tangga, mengurus hal-hal yang domestik. Memang menarik membahas bagaimana aspek hukum/syariah dari poligami, atau aspek pertarungan besar antara gerakan feminis liberal dengan sistem nilai hidup islami tetapi kita melewatkan hal yang penting dan sangat konkret yaitu urusan keseharian rumah tangga.
Sebelum lebih jauh saya sampaikan keprihatinan saya tentang diskursus poligami dalam masyarakat kita. Saya terkadang sedih juga mendengar bagaimana ungkapan yang dilontarkan oleh masyarakat muslim khususnya pria muslim. Sebagai contoh, kita sering mendengar misalnya dalam pengajian/taklim, atau seminar ketika moderator membacakan CV dari pembicara,” Bapak ini telah dikaruniai anak tiga dan istri…baru satu!” dan sontak direspon dengan senyum simpul atau gelak tawa hadirin. Seakan-akan hal seperti ini bukanlah suatu yang serius dan bisa dibuat main-main. Yah memang bukan main kita ini sebagai pria, begitu berkuasanya seenaknya mengucapkan hal-hal tanpa menyadari bahwa hal tersebut mungkin menyinggung orang lain, kaum hawa dalam hal ini. Sebagaimana layaknya angka satu pasti akan diikuti oleh angka dua, tiga dst. Jadi seakan-akan kita sama-sama mahfum bahwa sudah selayaknya istri satu dilanjutkan dengan istri kedua dst. Saya jadi membayangkan jika ketika saya menikah dulu dalam undangan akan tertulis seperti ini,” Mohon doa restu atas pernikahan yang pertama Muhammad Sigit Andhi Rahman dengan…” betapa gilanya.
Bagi saya berkeluarga artinya berbagi dalam membangun rumah tangga. Dan apakah berbagi itu artinya Sang suami bertugas menjadi pencari nafkah atau “breadwinner” dan sang istri mengurus anak dan tetek bengek pekerjaan rumah tangga? Menurut saya hal ini salah, dan tidak ada referensinya dalam tradisi salafus shalih. Termasuk dalam kasus poligami, dengan mengikatkan seorang lagi (istri baru) dalam keluarga yang sudah ada secara logis mempunyai konsekuensi bahwa pekerjaan rumah tangga yang perlu dilakukan oleh sang suami menjadi bertambah baik setidaknya secara kuantitas. Bersikap adil tidak hanya adil dalam membagi kebutuhan material maupun kebutuhan batin tapi juga berbagi pekerjaan rumah tangga. Apakah kita siap? Jelas kalau hanya setiap hari pulang dari kantor pada waktu maghrib kemudian bermain-main dengan anak, bercakap-cakap dengan istri, pasti tidaklah sulit. Mau punya berapa banyak istri dan anak pastilah menyenangkan.
Atau mungkin kita bisa beralasan bahwa kita bisa mengupah orang, kan hal ini tidak terlarang bahkan bisa berbagi rezeki. Kalau anda berfikir bahwa tidak ada masalah mendelegasikan pekerjaan rumah tangga kita kepada orang lain yang kita upah, maka jelas kita berbeda pendapat.
Pekerjaan rumah tangga adalah kewajiban sekaligus hak daripada seorang suami. Kewajiban karena meskipun dia mencari nafkah tidak ada alasan bahwa itu dapat menggantikan tugasnya mengurusi rumah termasuk mengasuh dan mendidik anak. Mungkin bisa diterima jika hanya berkurang dalam segi kuantitas pekerjaan yang harus dilakukan tapi kewajiban tersebut tetaplah tidak gugur. Dan sebagaimana yang saya sebutkan sebelumnya tidak ada referensinya dalam tradisi muslim, dan sebaliknya justru dicontohkan bahkan oleh Nabi kita tercinta. Beliau menjahit sendiri kasutnya yang sobek, mencuci sendiri dan menggosok pakaiannya yang terkena noda mani. Ali terbiasa membantu Fatimah menggiling gandum untuk kemudian dimakan sekeluarga. Jika demikian halnya, mengapa kita hanya sibuk mengikuti sunnah nabi dalam hal jenggot dan pakaian bahkan berpoligami pun - sering juga disebut sebagai wujud ketaatan mengikuti contoh nabi-, tapi tidak dalam hal-hal sederhana yang tidak kalah penting dilakukan mereka secara rutin sebagai seorang suami.
Pekerjaan rumah tangga yang notabene pekerjaan kasar yang dianggap tidak ada artinya, tidak perlu dihargai karena hanya melibatkan tangan dan bukan intelektualitas serta dapat dilakukan oleh siapa saja sebenarnya suatu yang sentral dalam kehidupan rumah tangga bahkan kehidupan kita sebagai manusia. Oleh karena itu mengapa saya sebut ini juga merupakan hak seorang suami. Hak bukanlah berarti boleh diambil atau boleh tidak. Akan tetapi saya sebut hak karena ini penting bagi kita sebagai seorang suami dan seorang manusia yang sudah selayaknya diminta. Pekerjaan ini melatih tangan dan tubuh kita tetap bekerja dikala kehidupan modern hanya mengembangkan potensi sebagian diri kita yang berfokus di otak. Membuat diri kita disiplin, membuat fikiran relaks tetapi juga lebih fokus. Menjadikan diri kita lebih jeli dan teliti dengan hal-hal kecil.
Salah satu manfaat terpenting yaitu pekerjaan ini melatih diri kita untuk tidak menjadi sombong. Bahwa posisi kita yang tinggi di kantor ataupun popularitas di mata masyarakat tetaplah bukan apa-apa, itu semua adalah ilusi. Maka sudah mafhum dalam pelatihan di kelompok-kelompok tariqat orang yang berpangkat dan berkedudukan yang paling tinggi justru diberi tugas membersihkan bagian yang paling kotor yaitu WC. Dari seorang teman diceritakan bagaimana seorang Jenderal yang mampu luluh hati dan airmatanya ketika menggosok toilet masjid dalam sebuah pelatihan tariqat berupa I’tikaf selama 5 hari. Dia menyatakan bahwa dalam perjalanannya mencapai kedudukan Jenderal sudah melalui berbagai pelatihan yang sangat berat tapi ternyata tidak seberat pelatihan ini karena disini yang dilawan bukan siapa-siapa melainkan egonya sendiri.
Dalam beladiri pun bisa kita pahami bagaimana kegiatan sehari-hari menjadi sarana untuk berlatih. Kedalaman dan keahlian orang bisa terpancar dari bagaimana mereka melakukan hal-hal tersebut. Dalam kisah Musashi, banyak contoh salah satunya bagaimana pekerjaan merangkai bunga, bagaimana memotong tangkai bunga dapat membedakan seorang Sekishusai Yagyu dengan seorang ahli pedang biasa.
Mungkin pencerahan ataupun katakanlah hidayah tidak hanya bisa kita dapat lewat perenungan panjang terhadap sebuah kitab tebal, lewat dalamnya nasihat-nasihat seorang ulama, lewat merdunya lantunan ayat suci tapi bisa jadi dapat juga dari noda di lipatan baju yang kita cuci, debu-debu yang kita sapu, kulit merah anak kita yang gatal dan kita beri bedak, dari peluh yang menetes ketika memasak makan siang atau dari mendengarkan dengan sabar omelan sang istri ketika diri kita salah menuangkan teh atau bersungutnya istri kita karena pakaian dalam yang kita cuci berubah warnanya terkena luntur.
Jadi saudaraku, tidak ada niatan diriku untuk memperdebatkan poligami sebagai bagian yang diatur dalam syariat Islam. Kalau memang sudah mantap niatmu dalam berpoligami (ataupun bahkan dalam bermonogami sekalipun), menurut saya sangat penting untuk bisa merenungkan terlebih dulu makna dari pekerjaan-pekerjaan rumah tangga yang selama ini dengan sabar dan tekun dikerjakan oleh istrimu dan kauanggap remeh dan kemudian jawablah mampukah kita berbagi pekerjaan-pekerjaan tersebut…
Komentar
Kadek Kresna