Peter Pan dan lenyapnya dongeng


“Peter Banning, Peter Pan yang telah tumbuh dewasa menjadi seorang ayah, menjadi seorang pengacara yang sukses kembali pulang kampung ke London. Dalam lawatan ini kedua anaknya diculik oleh musuh bebuyutannya, Kapten Hook, Pemimping Bajak laut yang kejam. Maka tiada pilihan kecuali Peter Banning harus kembali menjadi Peter Pan untuk bisa bertarung melawan Hook dan membebaskan kedua anaknya. Peter Pan sang anak pemimpin geng The Lost Boys, sang anak yang menjadi pahlawan negeri Neverland. Sang anak yang mampu terbang dan menumpas bajak laut. Tetapi masalahnya, perutnya sudah menggelambir terlalu banyak lemak, dia lupa bagaimana caranya terbang, dia telah lupa caranya bertarung, dia lupa bahwa dia adalah Peter Pan dan yang paling mengenaskan dia lupa dengan senjata utamanya ketika melawan bajak laut-senjatanya setiap anak-anak yaitu dia lupa bagaimana caranya berkhayal.”

Dalam sebuah pengajian, sang Da’i menyampaikan materi tentang sirah nabi Muhammad SAW. Dikisahkan bagaimana secara ajaib hancurnya tentara gajah yang akan menyerang Makkah di masa sebelum kelahiran nabi. Dihancurkan oleh burung ababil-burung dari langit yang masing-masing membawa batu panas di paruh dan kakinya kemudian menjatuhkannya selaiknya pesawat pembom atom menghancurkan Hiroshima dan Nagasaki membuat tentara gajah pimpinan Abrahah hancur seperti daun-daun dimakan ulat. Keberkahan yang luar biasa diterima oleh Halima Sa’diyah, ibu susuan Nabi karena mengambil Nabi sebagai anak susuannya. Air susunya yang mengalir lancer, ternaknya yang sehat-sehat dan gemuk-gemuk diyakini merupakan berkah kehadiran Nabi. Kemudian kisah bagaimana dada nabi dibelah dan disucikan oleh malaikat di bejana emas. Dan tentunya kisah luar biasa tentang perjalanan Nabi dari Makkah ke Jerusalem dan naik ke langit untuk kemudian bertemu dengan Tuhan.

Bukan valid dan tidaknya kisah ini yang menggelisahkan diriku. Kisah yang sudah dipertanyakan, diperdebatkan dan dibuktikan oleh banyak orang. Akan tetapi, yang menjadi renungan berkepanjangan dalam diri adalah mengapa hilang rasa takjub di hati terhadap kisah-kisah ini?

Ada dua kemungkinan sementara ini, apakah pikiran dan hati saya telah jumud, kehilangan imajinasi dan kreatifitas dalam memaknai agama atau kemungkinan kedua terlalu rasionalnya pemaknaan saya mengenai agama.

Kita mulai dari yang pertama. Dan sebagai ilustrasi, saya mencoba membahas mengenai bagaimana kita memaknai surga. Lingkungan tempat hidup kita telah disulap sedemikian rupa bagai taman firdaus di muka bumi. Dalam kitab suci digambarkan bagaimana surga dengan air yang mengalir di bawahnya, bahkan sungai susu, sungai khamr. Teknologi dan kemakmuran telah mampu membuat surga artifisial disini. Kita bisa perhatikan dari iklan-iklan properti di televisi kita. Hunian yang nyaman penuh pepohonan, taman-taman, sungai-sungai yang sejuk. Dengan kuasa dan uang pun kita bisa saat ini juga menikmati buah-buah apapun tanpa repot memanjat. Seperti digambarkan bagaimana mudahnya mendapatkan makanan dan minuman di surga. Bidadari yang cantik jelita pun dapat diperoleh dengan mudah, baik cara halal maupun tidak halal asal ada uang. Lalu bagaimana sekarang diri saya harus membayangkan seperti apa surga, ketika semua yang digambarkan di kitab suci sudah ada di depan mata?

Hal lainnya, ilmu pengetahuan telah membongkar misteri-misteri yang menjadi teka-teki masa nenek moyang kita. Ketika ilmu pengetahuan dapat menjelaskan dengan begitu rinci tentang proses terjadinya hujan, lalu dimana sekarang malaikat Mikhail sang malaikat pembagi rezeki dan bertugas menurunkan hujan? Ketika semua proses alami telah dijelaskan bagaimana kita menempatkan lagi malaikat bahkan Tuhan yang sedang bekerja dalam kesadaran kita?

Kehidupan modern seakan-akan telah melucuti aura kegaiban agama. Dan mungkin pikiran saya terlalu gagap dalam menanggapinya. Jelas butuh usaha yang ekstra keras dan kolektif untuk memberi ruang bagi pemaknaan-pemaknaan yang baru terhadap agama beserta simbol-simbolnya. Mungkin ini hanya masalah saya seorang, tapi jelas memaksakan pemaknaan seadanya terhadap simbol dan kisah agama tersebut di atas ataupun agama secara keseluruhan dengan alasan bahwa sudah seharusnya bagi seorang beriman untuk menerimanya apa adanya akan menanam konflik dalam diri yang akan meledak di kemudian hari.

Di sisi lain kehidupan modern juga agama untuk menjawab problem-problem yang profan. Disini kemungkinan kedua mengapa kegelisahan itu timbul. Terkadang kita tanpa sadar merasionalkan agama dengan sebegitu rupa. Ketika zaman telah mengharuskan agama membuktikan doktrin-doktrinnya sebagai valid dan tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan, ketika agama bersuara lantang sebagai ideologi perlawanan, ketika agama muncul sebagai doktrin hukum dan politik untuk dilaksanakan, ketika agama muncul sebagai penggerak dan motivator umat untuk bangkit dari kemalasan. Itulah perjalanan agama yang kusaksikan. Jelas bukan suatu yang salah, karena begitulah selayaknya agama. Tetapi kegelisahan tersebut tetap terasa

Saat ini ketika sebagian besar manusia mulai kembali meyakini agama sebagai solusi tiap permasalahan hidupnya, akan tetapi terasa ada ruang kosong yang ditinggalkan dalam kesadaran kita, atau setidaknya saya. Hilangnya kegaiban, hilangnya perasaan takjub, hilangnya misteri dan pertanyaan. Tatkala agama mengisi kesadaran rasionalitas kita, agama ternyata telah meninggalkan ruang-ruang imajinasi kita. Agama begitu sangat rasional yang justru membuatnya terkadang terasa kering. Agama yang menjawab semua persoalan sehingga seakan-akan kita hanya tinggal taat, tunduk dan melakukan. Agama yang tidak menyisakan pertanyaan-pertanyaan.

Memang betul, agama telah kita gunakan untuk menjawab bahkan mungkin kita paksakan untuk menjawab semua pertanyaan tentang kehidupan kita. Akan tetapi mungkin sesekali perlu agama tidak hanya sibuk digunakan untuk memberikan jawaban, agama perlu kita tempatkan untuk menuntun kita dalam bertanya, dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang benar. Sebagai mana dongeng, yang tidak dikisahkan sebagai pedoman moral dan jawaban-jawaban semua masalah tetapi justru memberikan pengalaman akan indahnya misteri, perasaan takjub dan petualangan yang mengasyikkan bagi jiwa-jiwa yang murni yang tidak mudah terpuaskan oleh jawaban. Agama yang bisa mengundang hasrat terdalam diri kita yang haus akan misteri dan petualangan. Agama yang mengisi imajinasi kita. Agama yang bisa membuat kita berkhayal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Menghidupkan Tradisi Skolastik Abad Pertengahan dalam Perkuliahan

Mengapa Amerika? bag.1

Google dan Universitas 2.0